REPUBLIKA.CO.ID, Rusia kembali menyatakan dukungan penuh kepada Suriah. Rusia bahkan mengusulkan rencana baru untuk menyelesaikan krisis berdasarkan kesepakatan pembentukan pemerintah baru. Menurut Rusia Presiden Bashar Al-Assad tetap berkuasa sampai pemilihan presiden berikutnya pada 2014.
Koran Mesir berbahasa Arab, Al-Ahram, Sabtu (10/11), seperti dinukil IslamTimes, yang mengutip informasi salah satu tokoh oposisi Suriah yang mengatakan Rusia mencoba menyelesaikan krisis saat ini berdasarkan pembentukan pemerintahan baru yang komprehensif, yang terdiri dari sistem yang berkuasa saat ini dan tokoh-tokoh oposisi.
Berdasarkan proposal tersebut, kementerian pertahanan dan interior akan diatur pemerintah saat ini, sementara partai-partai oposisi memiliki departemen lain. Usulan Rusia itu juga menekankan presiden Suriah akan tetap menjabat sampai akhir masa jabatan Bashar al-Assad pada 2014 mendatang.
Laporan itu muncul saat Presiden Assad mengatakan dirinya hanya bisa meninggalkan mandatnya sebagai presiden melalui kotak suara. Saat wawancara dengan Russia Today (RT), Assad mengatakan persiden dapat bertahan atau mundur hanya ditentukan melalui kotak suara.
"Ini bukan tentang apa yang kami dengar. Ini mengenai apa yang kami dapatkan melalui kotak itu, dan kotak itu akan mengatakan apakah presiden tetap tinggal atau mundur, sangat sederhana," ujar Assad seperti diaporkan AFP, Jumat, (1/11).
Assad juga menjelaskan adanya dukungan berupa senjata uang dan politik kepada pemberontak yang sebelumnya belum pernah ada sebelumya.
"Jadi, Anda pasti memperkirakan bahwa ini akan menjadi perang yang panjang dan perang yang sulit. Anda tidak memperkirakan negara kecil seperti Suriah dapat mengalahkan semua negara yang memerangi kami melalui perwakilan hanya dalam beberapa hari atau pekan," bebernya.
"Jika dukungan untuk para pemberontak dari negara luar dihentikan, saya dapat mengatakan bahwa dalam beberapa pekan kami dapat mengakhiri segalanya," katanya menambahkan.
"Namun selama Anda terus memasok para teroris, persenjataan, logistik dan apapun itu, ini akan menjadi perang yang sangat panjang," ujarnya lagi.
Namun Assad membantah negaranya berada dalam perang sipil sebagai konflik yang didasarkan pada masalah etnik atau masalah sektarian. "Anda mengalami perpecahan, namun perpecahan tersebut tidak berarti perang sipil," tambahnya.
Dalam sebuah wawancara dengan Rusia Today (RT.com) Eric Draitser (seorang analis geo-politik dari stopimperialism.com) mengatakan saat ini Amerika Serikat, Qatar, Saudi Arabia dan Turki mengerahkan segala upaya untuk menyelamatkan 'Operasi Suriah' dan meletakkan seluruh pertaruhannya pada keberhasilan operasi tersebut.