REPUBLIKA.CO.ID, PHNOM PENH – Sepuluh kepala pemerintahan akan menandatangani Deklarasi HAM ASEAN, Ahad (18/11). Deklarasi tersebut menjadi salah satu keputusan utama KTT ASEAN ke-21 di Phnom Penh, Kamboja.
Deklarasi Hak Asasi Manusia (HAM) ASEAN merupakan salah satu isu kontroversial. Lembaga-lembaga HAM dunia mengkritiknya tidak bernilai universal. Rancangan deklarasi itu mengandung pagar pembatasan HAM berupa keamanan nasional, tatanan publik, dan moralitas publik.
Menlu RI Marty Natalegawa mengakui deklarasi tersebut sebagai hal yang kompleks. Namun, ia mengklaim Deklarasi HAM ASEAN akan mengandung nilai universal. ‘’Tidak akan kurang,’’ katanya di Phnom Penh seperti dilaporkan wartawan Republika, Arys Hilman, Sabtu (17/11)
Ia mengakui adanya kritik terhadap pembatasan berdasarkan alasan keamanan nasional, tatanan publik, dan moralitas. Tapi, menurut Marty, sebenarnya hal itu tidak jauh berbeda dengan yang lain. ‘’Kalau kita kaji secara seksama, ketentuan itu ada di semua instrumen HAM,’’ katanya.
Deklarasi HAM ASEAN menekankan pada konteks regional. Konteks itu terus-menerus berubah, tidak selalu sama. Dia mencontohkan situasi di Myanmar satu atau dua tahun lalu yang berbeda dengan saat ini. ‘’Jadi keadaannya dinamis,’’ ujar Marty.
Menlu RI menyatakan tidak perlu meragukan komitmen ASEAN terhadap hak asasi manusia. Di level menteri luar negeri ASEAN, katanya, isu Rohingya pun menjadi materi pembahasan.
Draf Deklarasi HAM ASEAN mendapatkan kritik, antara lain, dari Human Rights Watch. Lembaga tersebut menilai deklarasi dengan pembatasan itu tidak memenuhi standar HAM internasional.
Dikhawatirkan, deklarasi itu akan digunakan Negara-negara ASEAN untuk mengabsahkan pelanggaran HAM.Sementara, Komisi Tinggi PBB untuk HAM mengkritik draf deklarasi itu sebagai produk tanpa konsultasi publik yang memadai.