REPUBLIKA.CO.ID, LONDON - Wanita cacat dua kali lebih sering menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dibandingkan wanita normal lainnya. Ini merupakan hasil penelitian dari Women's Aid.
Satu dari empat wanita di dunia mengalami kekerasan dalam rumah tangga. Untuk wanita cacat, kemungkinannya menjadi dua kali lipat. Bentuk kekerasan itu bisa berasal dari pasangan hidup atau suaminya, keluarga, atau pengasuh. Hampir satu dari dua wanita cacat di dunia akan disalahgunakan dalam hidup mereka.
"Kami sering mendengar kasus dimana kursi roda wanita digeser ke tempat yang jauh pada saat dia hendak duduk. Ada yang alat bantu dengarnya dilepas dan dilempar ke sisi lain. Semua hanya agar korban tidak dapat berkomunikasi," kata Dr Jackie Barron dari Women's Aid, dikutip dari the Guardian, Senin (20/11).
Pelaku kekerasan biasanya memiliki keunggulan fisik dari korban. Mereka biasanya orang yang merawat korban sehari-hari.
Deborah (31 tahun), bertemu mantan suaminya secara online ketika ia berusia 17 tahun. Dua tahun setelah menikah, Deborah didiagnosis terkena penyakit neurologi. Dia pada akhirnya menggunakan kursi roda dan terisolasi dari pergaulan. Selama 10,5 tahun Deborah mendapat siksaan dari suaminya dan perawatnya.
"Ketika aku masih sakit, dia (mantan suami Deborah), mengancam tak akan menyiapkan makanan untukku. Seringkali, perkataannya itu benar," kata Deborah. Suaminya keberatan mengantar Deborah ke kamar mandi. Dia menolak membantu Deborah mencuci pakaiannya.
Menurut Barron, suami Deborah menggambarkan dirinya sebagai "Vampir Psikologis" yang mengisap energi Deborah. Ini membuat wanita cacat seringkali mendapati dirinya mendapatkan sokongan dan dukungan dari orang-orang terdekatnya.