REPUBLIKA.CO.ID, GAZA--Mengapa konflik Palestina-Israel lebih banyak terjadi di Gaza ketimbang wilayah lain Palestina, Tepi Barat? Seperti kali ini ketegangan di Jalur Gaza kembali terjadi. Sebenarnya ketegangan antara kedua negara itu tak pernah benar-benar padam sejak beberapa tahun lalu.
Apa beda kondisi Israel dan Gaza di masa lalu dan sekarang? Stratfor melaporkan ketegangan di jalur Gaza kembali meningkat pada 2006, ketika Hamas berhasil memenangkan pemilu dan mengalahkan rivalnya, Fatah.
Hamas mendapat momentum suara rakyat Palestina di Gaza dalam pemilu juga akibat sikap Fatah. Menurut CSMonitor, sikap korup meluas pejabat Fatah dan sikap politik petinggi yang dinilai cenderung kooperatif dengan Israel, menimbulkan penolakan dari warga Gaza.
Sementara sikap Hamas gamblang menyatakan perlawanan terhadap pendudukan Israel lebih mendapat simpati. Namun ideologi Hamas yang keras dan menolak berkompromi dengan Israel tidak disukai dunia Internasional. Amerika Serikat, sekutu dekat Israel, adalah salah satu negara yang menolak mengakui Hamas meski kelompok tersebut memenangi pemilu secara sah dan demokratis.
Hamas berhasil menguasai wilayah Gaza sementara Fatah menguasai Tepi Barat. Kemenangan Hamas ini harus dibayar mahal dengan perang saudara berbulan-bulan antara dua faksi utama Palestina itu.
Perang saudara tersebut berskala serius. Kedua kubu tak segan-segan mengeksekusi sesama warga Palestina ketika mereka berbeda halauan. Hamas membunuh loyalis Fatah, begitu pula sebaliknya.
Lalu, pada 14 Juni 2006, Hamas, seebagai pemenang pemilu, mengambil alih kendali Jalur Gaza dari Fatah. Dalam waktu 11 hari kemudian (25 Juni 2006), Hamas menculik tentara Israel, Gilad Shalit dan menewaskan dua orang lainnya.
Situasi inilah yang memicu babak baru permusuhan dengan Israel. Negara Yahudi itu memblokade jalur Gaza sejak Juni 2007 ketika Hamas berhasil mengambil alih kontrol atas teritori Palestina.
Hamas mendapat momentum suara rakyat Palestina di Gaza dalam pemilu juga akibat sikap Fatah. Menurut pengamat, sikap korup pejabat Fatah dan pandangan mereka yang dinilai cenderung kooperatif dengan Israel, menimbulkan penolakan dari warga Gaza.
Berdasarkan kondisi itu, Israel menyatakan Perairan Gaza adalah daerah terlarang. Blokade tersebut memicu penurunan standar hidup, tingginya tingkat pengangguran dan kemiskinan.
Aktivis pro Palestina berusaha mengirim bantuan ke warga Palestina. Namun negara zionis itu berupaya menghadang aktivis yang mengarah dan bertujuan menembus blokade walau masih berada di perairan internasional. (bersambung)