REPUBLIKA.CO.ID, Sepekan sudah Israel membom-bardir Gaza dari darat, laut dan udara. Korban jiwa dan luka terus berjatuhan, terutama anak-anak dan kaum wanita.
Menyaksikan dan merasakan kekejaman Zionis-Israel dalam meluluh-lantakkan kampung halamannya, seorang ibu di Jalur Gaza mengungkapkan kepedihan lewat surat yang ia kirimkan kepada ROL.
Berikut bunyinya:
Assalamu’alaikum wr. wb.
Aku yakin banyak orang yang akan mendengarkan kata-kataku ini. Dan juga yakin, sebagian besar dari Anda peduli tentang kami, atau mau peduli tentang penderitaan kami.
Untuk itulah Anda membaca surat ini. Aku ucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya atas perhatian Anda.
Kami menyambut hari dengan memastikan bahwa kami memiliki cukup cadangan air untuk diminum. Namun, listrik padam, sehingga kami tidak bisa memompa air.
Aku juga harus memastikan ketersediaan stok makanan untuk anak-anak karena sulitnya mencari kebutuhan pokok. Sebab, tentara Zionis telah membunuh penjual makanan yang biasa datang ke tempat kami. Israel juga telah membunuh tukang air keliling yang tiap pagi lewat di kampung.
Aku juga takkan membiarkan suami pergi mencari air atau makanan. Karena kuyakin, bila suamiku nekat pergi ke pasar, dia tak bakal kembali lagi. Sebab, jika drone (pesawat mata-mata Israel) melihatnya membawa kantong makanan, ia dijadikan sasaran tembak.
Drone Israel akan menganggap suamiku—yang menggotong karung di pundaknya—sebagai ancaman. Padahal, dia mungkin hanya membawa kentang atau tomat. Dan aku pun bakal hidup sendiri tanpa suami dan kekasih hati.
Di malam hari, aku mengajak anak-anak tidur bersama dalam satu ruangan. Aku berkisah kepada mereka tentang kekejaman perang dan menjawab setiap pertanyaan mereka tentang serangan brutal Israel.
Ketika anak-anak telah tidur pulas, kupandang wajah-wajah mereka yang polos di balik kegelapan. Maaf jika lancang... aku seolah-olah melihat calon-calon korban pembantaian di wajah anak-anakku.
Aku teringat wajah bocah-bocah yang jadi korban pembunuhan serdadu Zionis, dan membayangkan tubuh anak-anakku bersimbah darah atau hancur di bawah puing-puing.
Aku menangis, tersedu, terisak... dan berdoa kepada Allah agar menjaga keselamatan anak-anakku. Atau jika memang Allah mau mengambil nyawa mereka, hendaknya Dia memberikan kematian yang indah agar mereka tak merasakan perihnya sakaratul maut.
Aku juga selalu membawa KTP kemana-mana, setiap saat. Dengan demikian, jika aku mati nanti, mereka akan tahu ada lagi seorang Palestina yang telah mengorbankan darahnya demi tanah air. Di lain pihak, entah mengapa, aku yakin setiap tetes darahku telah menjadi incaran Zionis.
Yang kuharapkan dari orang-orang yang mendengarkan kata-kataku ini... untuk bersikap seolah-olah mereka berada di posisi kami. Merasakan sakitnya perang, mendengarkan dentum roket dan bom di atas kepala, menanti kematian yang datang menghampiri detik demi detik.
Walau demikian, aku yakin mimpiku menjadi nyata, suatu saat nanti. Aku hanya berharap darimu, dari Anda semua, bantulah kami mewujudkan impian itu. Bangkitlah bersama-sama, hadapi pemerintah Anda, pemerintahan yang bisu tanpa suara. Katakan kepada mereka, “Sebagai manusia kami juga punya hak untuk hidup, melawan, dan menang. Kami akan menang, suatu hari nanti!”
Wassalamu’alaikum wr. wb.
Jalur Gaza, Palestina
Rabu, 21 November 2012
Widyan Pal