Jumat 23 Nov 2012 21:27 WIB

'AS Harus Awasi Genjatan Senjata Hamas-Israel'

Rep: Afriza Hanifa/ Red: Fernan Rahadi
Warga Palestina merayakan kemenangan atas Israel setelah tercapainya kesepakatan gencatan senjata di Gaza, Rabu (21/11) malam.  (Reuters/Mohammed Salem)
Warga Palestina merayakan kemenangan atas Israel setelah tercapainya kesepakatan gencatan senjata di Gaza, Rabu (21/11) malam. (Reuters/Mohammed Salem)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Baru lewat 24 jam genjatan senjata antara Hamas dan Israel diumumkan, peluru berhamburan di daerah perbatasan, Khan Younis, Jumat (23/11) pagi.

Pengamat Internasional menilai, genjatan senjata antara Hamas dan Israel memang bukanlah genjatan senjata murni dan bersifat sesaat. Tak adanya pengawas genjatan memungkinkan pelanggaran dari dua pihak.

"Sebenarnya genjatan senjata itu hanya untuk menghentikan sesaat. Buktinya Israel masih melakukan serangan. Seharusnya ada garansi lebih jauh lagi yang harus memberi jalan perdamaian," ujar pengamat internasional dari Universitas Pertahanan Indonesia, Bantarto Bandaro,

Adapun terkait pernyataan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu yang menyatakan siap dan memilih genjatan senjata, kata pengamat, tak membawa dampak di lapangan. Netanyahu mengeluarkan pernyataan tersebut atas dasar kepentingan politik.

"Itu hanya pernyataan politik, di lapangan jauh berbeda. Oleh karena itu perlu ada jaminan, harus ada yang mengawasi di lapangan agar genjatan senjata tidak disalah gunakan pihak tertentu dan digunakan sebagai alasan untuk serangan berikutnya. Selama itu belum ada, tidak akan ada genjatan senjata, tidak akan ada perdamaian," katanya.

Bantarto mengatakan Amerika Serikat (AS) merupakan satu-satunya negara yang diharapkan dapat menjadi penjamin kesepakatan penghentian pertempuran tersebut.

"Saya pikir yang bisa diandalkan adalah AS. Walaupun AS masih memihak Israel, namun AS mampu melakukan itu," katanya, Jumat (23/11).

"AS sebagai garantor yang bisa menjamin keduanya mengakhiri serangan. Memang apapun yang terjadi, AS memihak Israel. Saya kira tidak mungkin bagi AS memihak Palestina. Tapi AS bisa memilih moderat dibawah kepemimpinan Obama," ujarnya.

Garansi tersebut, menurut Bandaro, memang harus datang dari pihak ketiga yang akan mengawasi proses perdamaian. Pihak ketiga tersebut harus diterima oleh kedua pihak baik Hamas maupun Israel.

Sementara Mesir yang selama ini menjadi mediator, kata Bandaro, belum berperan maksimal. Mesir pun menunjukkan sikap lebih simpatik pada Hamas di Gaza dan menekan Israel. 

Sebagai garantor, menurut Bandaro, AS dapat melakukan dua upaya, yakni memberikan pernyataan-pernyataan serta mengirim tim bukan pasukan melainkan utusan ke wilayah perang. Peran terebut, lanjut Bandaro, memungkinkan dilakukan negeri paman sam tersebut mengingat banyaknya reaksi dunia yang mengecam sikap AS memihak Israel.

Selain AS, menurut Bandaro, PBB pun dapat terlibat sebagai penjamin. Namun PBB tak mampu menegosiasi kedua kubu layaknya AS. Adapun organisasi lain seperti Liga Arab, pun tak dapat diharapkan karena tak mampu bersikap netral.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement