REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Komite Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyatakan keprihatinan atas kekerasan di Myanmar antara Muslim Rohingya dan Budha Rakhine. PBB pun mengeluarkan resolusi terkait hak kewarganegaraan Muslim Rohingya dan mendesak pemerintah Myanmar melindungi hak asasi manusia etnis minoritas tersebut.
Komite tiga Majelis Umum PBB yang fokus pada isu hak asasi menyetujui konsesus resolusi tak mengikat, pada Senin (26/11). Resolusi tersebut menyatakan perhatian khusus terhadap kondisi etnis Rohingya di negara Bagian Rakhine, Myanmar. "Mendesak pemerintah Myanmar mengambil tindakan untuk membenahi situasi minoritas Rohingya dan melindungi hak asasi manusia mereka, termasuk hak untuk kewarganegaraan," isi resolusi PBB tersebut.
Selain itu, resolusi juga mendesak pemerintah Myanmar mempercepat langkah untuk mengatasi diskriminasi, pelanggaran HAM, kekerasan, pemindahan dan krisis ekonomi yang melanda Muslim Rohingya.
Seperti dikabarkan, lebih dari 800 ribu Muslim Rohingya tinggal di negara Bagian Rakhine, di sepanjang pantai barat Myanmar. Namun Buddha Rakhine dan pemerintah Myanmar menganggap mereka sebagai imigran ilegal dari negara tetangga mereka, Bangladesh.
Sementara itu pihak pemerintah Myanmar menganggap resolusi PBB tersebut tak melalui verifikasi. Isu-isu yang diangkat PBB dalam resolusi tak akurat. "Serangkaian penyapuan tuduhan, akurasi yang belum diverfiikasi," ujar pernyatan pemerintah.
Perwakilan Misi Myanmar untuk PBB mengatakan pada Komite ketiga PBB, pihaknya menerima resolusi tersebut. Namun juga mengaku keberatan dengan Rohingya sebagai objek etnis minoritas dalam resolusi.
"Tidak ada kelompok etnis seperti Rohingya di antara kelompok-kelompok etnis Myanmar. Meski fakta ini, hak untuk kewarganegaraan setiap anggota atau masyarakat telah ada dan tidak akan pernah ditolak selama mereka sejalan dengan hukum negara," tutur perwakilan tersebut.
Perwakilan tersebut menuturkan, kekerasan di Rakhine hanyalah bentrok komunal antara dua kubu masyarakat. Penganiayaan agama tak berkaitan dalam kekerasan tersebut. Pihaknya pun mengeklaim negara Myanmar tengah menangani kasus pelanggaran hak asasi manusia. "Setiap kekurangan dalam hal hak asasi manusia sedang ditangani melalui proses reformasi hukum dan mekanisme reformasi hukum, termasuk komisi hak asasi manusia nasional," tuturnya.
Bentrok antara Rakhine dan Rohingya mencuat sejak Juni sejak tiga Muslim Rohingya diduga diperkosa dan dibunuh oleh Rakhine. Kekerasan pun mengguncang negara selama sepekan pada Juni. Setelah mereda, kekerasan kembali mencuat di bulan Oktober. Puluhan Muslim Rohingya tewas dan ribuan orang kehilangan tempat tinggal dan terpaksa mengungsi.