Rabu 28 Nov 2012 03:45 WIB

Pemuka Agama Mediasi Krisis Politik Mesir

Syeikh Al-Azhar Mesir Prof Dr Ahmed Al Tayeb
Foto: al-monitor
Syeikh Al-Azhar Mesir Prof Dr Ahmed Al Tayeb

REPUBLIKA.CO.ID, KAIRO -- Syeikh Agung Al Azhar, Prof Dr Ahmed Al Tayeb pada Selasa memimpin pertemuan beranggotakan sejumlah tokoh termasuk pemuka Islam dan gereja Koptik untuk menengahi konflik politik di Mesir yang kian meruncing.

"Semua pihak akan dilibatkan untuk satu pertemuan dalam mencari titik temu mengakhiri krisis politik saat ini," demikian pernyataan hasil pertemuan pemuka agama yang dibacakan Penasihat Syeikh Al Azhar, Prof Hassan Al Shafie usai pertemuan.

Selain pemuka agama, hadir pula dalam pertemuan prakarsa Al Azhar itu beberapa tokoh partai, di antaranya Ayman Nour, tokoh oposisi di masa rezim terguling Presiden Husni Mubarak dan Gerakan 6 April, salah satu kelompok utama yang mempelopori Revolusi 25 Januari 2011.

Presiden Mursi lewat juru bicaranya, Yasser Ali mengatakan, pihaknya telah membuka pintu dialog, dan menghormati unjuk rasa damai sebagai bagian dari demokrasi.

Sementara itu, ribuan pendukung oposisi memenuhi Bundaran Tahrir, pusat kota Kairo, untuk menentang Dekrit Presiden Mohamed Moursi yang dianggap tidak demokratis.

Bundaran Tahrir ditutup dan diduduki oposisi sejak Jumat (23/11) lalu, dan berjanji akan mendudukinya hingga dekrit tersebut dicabut.

Presiden Mursi pada Kamis (22/11) pekan lalu mengeluarkan dekrit, yang intinya antara lain memecat Jaksa Agung Abdel Maguid Mahmoud dan menggantikan Talaat Ibrahim dengan tujuan menuntut kembali para koruptor di era Presiden Hosni Mubarak ke meja hijau.

Pemecatan jaksa agung itu memicu seruan mogok dari para hakim dan jaksa di seantero negeri. Media massa setempat melaporkan, seruan mogok aparat penegak hukum itu disambut disambut sebagian dan lainnya menolak.

Dekrit juga menegaskan berlakunya kembali semua keputusan presiden yang diambil sejak dilantiknya sebagai presiden pada 30 Juni 2012, termasuk keputusan pemulihan parlemen yang dibubarkan oleh Dewan Tinggi Militer (SCAF) berdasarkan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK).

Dekrit juga memperpanjang masa tugas Majelis Konstituante yang telah berakhir untuk dua bulan lagi guna merampungkan penyusunan konstitusi.

Kelompok oposisi menuduh dekrit itu sebagai kediktatoran Presiden Moursi, namun kubu Ikhwanul Muslimin menilai dekrit itu tepat di masa darurat untuk menyelamatkan negara dalam bahaya.

Meskipun Presiden Moursi mengatakan dekrit itu hanya berlaku sementara hingga terbentuknya konstitusi baru sekitar Januari 2013, namun pihak oposisi tetap menuntut pencabutan dekrit tersebut.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement