REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mantan Wakil Perdana Menteri Malaysia, Anwar Ibrahim, khawatir kecurangan terjadi dalam pemilihan umum di negaranya, yang diselenggarakan paling lambat Mei 2013 dan paling cepat Desember tahun ini.
"Yang kami inginkan adalah pemilihan umum yang jujur, namun melihat kondisi demokrasi di Malaysia yang belum ditegakkan maka dikhawatirkan akan terjadi kecurangan dalam pemilu itu," kata Ibrahim, di Jakarta, Rabu (28/11).
Ibrahim adalah pemimpin dari koalisi parta-partai oposisi, di antaranya Partai Keadilan dan Pan-Malaysian Islamic Party, yang berharap dapat mengakhiri kekuasaan partai yang sedang memerintah, UMNO (United Malays National Organization), pada pemilihan umum nanti.
"Untuk menjaga pemilu terbebas dari kecurangan, kami sudah meminta negara-negara sahabat, di antaranya Indonesia dan Mesir untuk menjadi pemantau independen," kata Ibrahim yang hadir di Indonesia untuk menjadi pembicara dalam diskusi buku Democracy Take-Off-The BJ Habibie Period.
Ibrahim menjelaskan, demokrasi di Malaysia, terutama kebebasan persnya, memang tidak semaju di Indonesia sehingga mekanisme pengawasan ulang (check and balance) yang biasa dalam sistem pemisahan kekuasaan Montesquieu (eksekutif, yudikatif, legislatif) menjadi sangat lemah.
Pengawasan oleh publik yang lemah di Malaysia itulah yang bisa jadi celah-celah kecurangan terjadi dalam pemilu di negara itu.
"Kekuasaan di Malaysia masih sangat anti terhadap kritik sehingga sistem politiknya tidak pernah dewasa. Bahkan ketika saya membela pekerja Indonesia yang teraniaya, saya dituduh anti nasionalisme," kata Anwar Ibrahim.
"Malaysia akan menjadi negara usang jika tidak menyesuaikan diri dengan arus demokrasi yang tidak bisa dibalik ini," kata dia.
Sejak dipecat dari UMNO pada tahun 1998 karena berselisih paham dengan Perdana Menteri Malaysia pada saat itu, Mahathir Mohammad, Anwar Ibrahim terus menjadi pegiat demokrasi yang beroposisi dengan pemerintah.