REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Menteri Luar (Menlu) Negeri Indonesia Marty Natalegawa mengatakan, inilah saatnya dunia bertindak benar dan tidak lagi menutup mata terhadap isu Palestina. Hal ini terkait naiknya status Palestina dari entiti menjadi "negara peninjau" lewat voting majelis Umum PBB pada Kamis (29/11).
“Waktunya telah tiba bagi masyarakat Internasional untuk melakukan tindakan yang benar. Dunia tidak boleh lagi menutup mata terhadap penderitaan rakyat Palestina yang telah berlangsung lama,” kata Marty dalam pernyataan tertulisnya. “Pengesahan Palestina menjadi Negara Peninjau di PBB memiliki simbol politik yang sangat penting dalam diplomasi.”
Dalam sidang Majelis Umum PBB ini Marty termasuk pembicara tingkat tinggi bersama Presiden Palestina, Wakil Tetap Israel di PBB, Menlu Kanada, dan Menlu Turki. “Indonesia bukan hanya mendukung tetapi ikut memprakarsai resolusi tersebut dengan beberapa negara lainnya, sebagai ko-sponsor,” ujar Marty.
Indonesia menyampaikan bahwa meskipun terdapat berbagai rintangan yang besar oleh kekuatan penjajah, rakyat Palestina telah membangun dan memiliki kemampuan untuk berperan sebagai sebuah negara. Untuk itu, tidak ada alasan masyarakat internasional menolak permohonan Palestina menjadi negara peninjau. Bahkan Indonesia juga menyampaikan agar aplikasi Palestina untuk menjadi anggota penuh PBB dapat segera terwujud.
“Keanggotaan Penuh Palestina di PBB sesuai dan konsisten dengan visi “two-State solution,” ucap Marty.
Dalam kesempatan tersebut, Indonesia juga menekankan pentingnya dimulainya kembali proses perdamaian dan penciptaan kondisi yang kondusif untuk memulai kembali proses perundingan damai. Termasuk dalam perundingan damai itu adalah langkah dihentikannya pembangunan pemukiman Israel yang tidak sah dan penghukuman kolektif yang tidak berperikemanusiaan.
Pada saat yang sama Indonesia juga menegaskan arti penting dialog yang dilakukan di antara rakyat Palestina. Resolusi Majelis Umum PBB yang mengesahkan Palestina sebagai negara peninjau didukung oleh 138 negara, 9 negara menolak dan 41 negara mengambil posisi abstain.