REPUBLIKA.CO.ID, KUWAIT -- Pemilihan umum Kuwait untuk kursi parlemen, Sabtu (1/12) dirundung banyak protes dari pihak oposisi. Mereka menolak perubahan aturan pemilu serta krisis percepatan politik negara. Mereka pun meminta warga Kuwait untuk tidak ikut serta memberikan suara atau memboikot pesta rakyat tersebut.
Puluhan ribu warga Kuwait berkumpul dan melakukan aksi pada Jumat (30/11) di malam pemilihan. Lebih dari 15 ribu warga tersebut melakukan pawai damai dan mendesak masyarakat untuk tidak ikut serta dalam pemilu sebagai ungkapan protes.
Oposisi yang terdiri dari anggota parlemen Islam, suku, dan liberal tersebut menyatakan penolakan keras terhadap aturan baru yang dikeluarkan Emir. Aturan pemilu yang baru, menurut oposisi akan menyelewengkan hasil pemilihan dan mendukung kandidat pro pemerintah.
Pemilu Kuwait dibuka sejak Sabtu pukul 08.00 waktu setempat. Terdapat 100 TPS yang disebar diseluruh negeri. Sekitar 423 ribu warga Kuwait memiliki hak untuk memilih 50 anggota parlemen. Di Kuwait, parlemen memiliki kekuasaan legislatif dan berhak mempertanyakan kinerja pemerintah.
Para pejabat di TPS beberapa kabupaten mengatakan, jumlah pemilih lebih sedikit dari biasanya. Namun angka pemilih baru dapat diketahui beberapa hari esok. Pemungutan diotutup pada 08.00 malam dan hasil pemilihan baru keluar sekitar tiga jam kemudian.
Sementara warga wanita, sejak 2005 lalu telah diizinkan mereka ikut andil dalam memberikan suara. Berdasarkan analis IHS Global Insight, Jamie Ingram, pemilihan umum di Kuwait pada masa lalu telah mencapai suara 60 hingga 80 persen. Angka tersebut diprediksi akan lebih rendah dalam pemilu kali ini akibat boikot oposisi.
Sikap apatis pemilih, menurut Ingram, terjadi setiap pemilu Kuwait, yakni di tahun 1992, 1996, 1999, 2003, 2006, 2008, dan 2009. Sikap tersebut pun akan terjadi pada pemilu parlemen 2012.
Pejabat Kuwait mengatakan jumlah pemilih turun drastis dibanding pemilihan parlemen terakhir di awal tahun. Para pejabat pemilu mengatakan, hanya sekitar 39 persen pemilih yang memberikan suara. Padahal pemilu Februari lalu, pemilih mencapai 60 persen.
Menteri Informasi Kuwait, Sheikh Mohammad Al-Mubarak Al-Sabah mengatakan, boikot memiliki efek besar dalam jumlah pemilih. Meski demikian, ia berharap jumlah pemilih meningkat secara signifikan di distrik kedua, yakni di ibu kota dan daerah sekitar. Pasalnya, pihak oposisi hanya mendominasi suara di wilayah jauh dari ibu kota.
Di TPS selatan Kuwait, misalnya, oposisi berhasil mengumpulkan warga untuk memboikot pemilu. Sebelumnya seorang calon dari kawasan tersebut telah mendapat suara kuat, yakni Ahmed Al-Azemi. Pemilu kali ini, Ia pun mengatakan tak akan memberikan suara karena sukunya memboikot pemilu.