REPUBLIKA.CO.ID, JERUSSALEM -- Israel akan menangguhkan pengiriman uang pendapatan pajak kepada Palestina menyusul pengakuan Palestina sebagai negara pemantau non anggota di Majelis Umum Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB). Hal tersebut disampaikan Menteri Keuangan Israel Yuval Steinitz pada Ahad (2/11)
"Saya tidak berniat melakukan transfer pajak kepada otoritas Palestina bulan ini. Mereka akan menggunakan uang itu untuk membayar hutang kepada perusahaan listrik Israel," tutur Steinitz, seperti dikutip kantor berita AFP.
Surat Kabar Haaretz Israel, Ahad (2/11) melaporkan total dana yang akan ditahan dari Palestina sebesar 460 juta shekel atau USD 120 juta. Uang itu diklaim bakal digunakan untuk membayar hutang Palestina kepada perusahaan listrik Israel yang disebut telah mencapai USD 200 juta atau sekitar Rp 2 miliar.
Penerimaan pajak bagi Palestina telah diatur dalam Protokol Paris tahun 1994. Pajak pun menjadi sumber pendapatan dengan presentase besar bagi anggaran negara. Jika Israel menahan pengiriman tersebut, maka Palestina terancam tak akan mampu membayar gaji pegawai pemerintah.
"Otoritas (Palestina), yang menjalankan pemerintahan terbatas di Tepi Barat, sangat kekurangan uang. Mereka bergantung pada pajak untuk membayar gaji pegawai negeri sipil. Upaya Israel menolak penyerahan dana merupakan upaya pembajakan dan pencurian," ujar pejabat senior Palestina, Yasser Abed Rabbo.
Penahanan dana tersebut menjadi langkah kedua dalam upaya balas dendam Israel terhadap Palestina. Sebelumnya, Israel pun mengumumkan akan membangun 3 ribu pemukiman baru di kawasan Tepi Barat dan Yerussalem Timur milik Palestina.
Tak hanya penahanan dana namun juga Israel mengancam akan melanggar perjanjian Oslo yang dijalin antara Israel dan Palestina tahun 1993.