REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia meminta negara maju menunjukkan kepemimpinannya dalam upaya pengurangan emisi dan Amerika Serikat, Kanada, Jepang, Rusia serta Selandia Baru diharapkan dapat membuat komitmen yang berimbang di dalam jalur lain di bawah konvensi perubahan iklim PBB.
Ketua Delegasi RI, Rachmat Witoelar, dalam siaran pers Delegasi RI pada Konferensi Perubahan Iklim ke-18 dari Para Pihak UNFCCC (COP18/CMP8) di Doha, Qatar, mengatakan terkait pendanaan, negara maju hanya dapat menyetujui keputusan yang sifatnya qualitative reassurance.
Maksudnya, kata dia, meyakinkan kembali bahwa mereka akan melaksanakan komitmen penyediaan pendanaan jangka panjang (long-term finance) yang dibuat di Copenhagen, Denmark pada COP 15 tahun 2009.
Pada saat itu, negara maju berkomitmen untuk memobilisasi dana sejumlah 100 miliar dolar AS sampai tahun 2020 dengan catatan negara berkembang melakukan aksi mitigasi dan melaporkannya secara transparan.
Di Doha, negara berkembang meminta agar penyaluran pendanaan jangka panjang tersebut dimulai dengan kerangka tiga tahun (2013-2015) atau diistilahkan mid-term financing dengan nilai dana 60 miliar dolar Amerika Serikat.
Angka konkrit tersebut sangat diperlukan agar negara berkembang memiliki kepastian mengenai pendanaan yang tersedia untuk membantu mereka. Khususnya, kata dia, adalah terkait komitmen pengurangan emisi dan penyediaan pendanaan oleh negara maju kepada negara berkembang untuk meningkatkan kegiatan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim.
Enggannya negara maju untuk mendorong pembentukan mekanisme internasional Loss and Damage menjadi hambatan dalam mempercepat aktifitas menekan dampak loss and damage akibat perubahan iklim. Namun demikian, Indonesia melihat potensi dari diselesaikannya rencana kerja Komite Adaptasi sebagai peluang untuk dimanfaatkan sebagai langkah memperkuat adaptasi dan rencana aksi adaptasi di negara-negara rentan.