REPUBLIKA.CO.ID, TUNIS -- Partai Presiden Tunisia Moncef Marzouki mengancam menarik diri dari pemerintah koalisi di tengah ketegangan dengan kubu berhaluan keras Ennahda, kata pejabat partai itu, Minggu.
"Kongres Republik (CPR) akan meninggalkan pemerintah jika usul-usulnya dan Presiden Moncef Marzouki tidak dipertimbangkan," kata Sekretaris Jendral CPR Mohamed Abbou kepada wartawan.
Marzouki, seorang aktivis kawakan hak asasi manusia yang memimpin partai kiri tengah CPR, bulan lalu mengatakan, pemerintah koalisi yang dipimpin partai garis keras Ennahda tidak memenuhi harapan rakyat dan ia mendesak perombakan kabinet.
Presiden tersebut memperingatkan, Tunisia berada di persimpangan jalan antara "jalan menuju kehancuran dan jalan menuju pemulihan" ketika kerusuhan dan pemogokan melanda negara itu, dua tahun setelah revolusi yang menggulingkan Presiden Zine El Abidine Ben Ali.
Pada November, bentrokan sengit antara polisi dan pemuda yang tidak puas di kota Siliana, sebelah baratdaya Tunis, mencederai sekitar 300 orang, setelah pemogokan dan protes menyangkut kondisi kehidupan yang buruk akibat kekerasan.
Ketegangan juga meningkat antara Serikat Umum Pekerja Tunisia (UGTT) dan kubu Islamis yang berkuasa, dan serikat buruh itu menyerukan pemogokan nasional pada 13 Desember.
Banyak penduduk Tunisia merasa sangat kecewa akibat kegagalan revolusi untuk memperbaiki kehidupan mereka, khususnya di daerah pedalaman terpinggirkan yang mengalami kekurangan kronis pembangunan dan pengangguran tinggi.
Dalam wawancara dengan The World Today, yang disunting oleh lembaga pemikir Chatham House yang berpusat di London, presiden Tunisia itu mengatakan sebelumnya pekan ini, ia merindukan kestabilan di negaranya, dimana "keadaan semakin memburuk setiap hari".
Ben Ali meninggalkan negaranya pertengahan Januari 2011 setelah berkuasa 23 tahun di tengah tuntutan yang meningkat agar ia mengundurkan diri meski ia telah menyatakan tidak akan mengupayakan perpanjangan masa jabatan setelah 2014.
Ia dan istrinya serta anggota-anggota lain keluarganya menjadi buronan dan Tunisia meminta bantuan Interpol untuk menangkap mereka. Pendongkelan kekuasaan di Tunisia itu berbuntut pada demam demokrasi dan pergolakan di sejumlah negara Arab, termasuk Mesir dan Libya.