REPUBLIKA.CO.ID, KAIRO -- Ikhwanul Muslimin Mesir merencanakan protes massal di Alexandria, Mesir, Jumat (21/12). Aksi protes ini sebagai respons atas meningkatnya ketegangan terkait referendum yang menentukan masa depan politik Mesir.
Ikhwanul Muslimin menyerukan demonstrasi setelah terjadi konfrontasi kekerasan antara pihaknya dengan oposisi liberal sekuler di Alexandria, pekan lalu. Konfrontasi itu diakhiri dengan ulama penceramah yang terkepung di dalam masjid selama 14 jam. Faksi oposisi saat itu memakai senjata tajam, seperti pisau dan pedang.
Sementara itu, hasil pemungutan suara pada Sabtu (15/12) menghasilkan 57 persen mendukung konstitusi. Tahap kedua pemungutan suara, Sabtu (22/12) di 17 provinsi yang tersisa diharapkan menghasilkan satu suara ya. Ini karena wilayah pemungutan suara besok mencakup provinsi yang mendukung pemerintahan presiden Mesir, Mohammad Mursi.
Untuk meloloskan referendum konstitusi negara ini, maka lebih dari 50 persen suara rakyat Mesir harus menyetujuinya.
Mursi dan Ikhwanul Muslimin mengatakan, konstitusi diperlukan untuk memajukan transisi Mesir dari dekade pemerintahan militer yang otoriter. Mursi juga mengatakan, ini sebagai langkah penting transisi Mesir menuju demokrasi hampir dua tahun setelah jatuhnya pemerintahan mantan presiden Mesir Hosni Mubarak.
''Dokumen adalah kunci untuk mengamankan stabilitas, dan mengutip mandat rakyat yang memberi saya kekuatan untuk merubah lembaga,'' ucap Mursi seperti dilansir dari Aljazirah, Jumat (21/12).
Kemudian di tengah-tengah persiapan referendum tahap kedua, kepala jaksa Mesir Talaat Ibrahim tiba-tiba mengumumkan bahwa dirinya mencabut keputusannya untuk mengundurkan diri sebagai jaksa. Ibrahim yang diangkat oleh Mursi ini mengatakan, dia berubah pikiran. Pengunduran dirinya pada Senin (17/12) lalu itu, kata dia, lantaran berada di bawah tekanan.
Para hakim juga sudah menemukan titik terang serangan antara oposisi dengan Ikhwanul Muslimin, Rabu (5/12) lalu. Dalam pidatonya Mursi mengatakan, oposisi yang ditahan mengaku dibayar untuk menyerang pendukung Mursi. Namun, pihak oposisi yang menghadapi kekalahan dalam referendum, tetap menyerukan suara 'tidak' terhadap referendum tersebut.