Rabu 26 Dec 2012 16:08 WIB

Konsitusi Baru Mesir, Apa Saja Bedanya dengan Piagam 1971? (Bagian 2 - Selesai)

Petugas komite referendum sedang menyortir kertas suara berdasar pilihan 'ya' atau 'tidak' terhadap konstitusi baru Mesir.
Foto: RTE
Petugas komite referendum sedang menyortir kertas suara berdasar pilihan 'ya' atau 'tidak' terhadap konstitusi baru Mesir.

REPUBLIKA.CO.ID, MESIR -- Permasalahan hak perempuan juga menjadi salah satu isu yang mengalami perbedaan dengan adanya Konstitusi Mesir yang baru. 

Meski sama-sama meminta negara membantu perempuan dalam biaya mengasuh anak dan menyeimbangkan tanggung jawab keluarga dan pekerjaan, bagian utama dokumen baru mengandung dua pasal yang melarang negara melanggar hak dan kesempatan yang sama bagi warga negara. 

Konsitusi Mesir yang baru juga menjamin kebebasan warganya untuk mengeluarkan pendapat secara verbal, tulisan atau gambar.  Kebebasan pers juga diperbolehkan untuk memiliki organisasi berita dan menerbitkan berita secara independen.

Bedanya, di Konstitusi 2012 Pemerintah Mesir menjamin kemerdekaan beragama yang beragama monoteis dan samawi. Dokumen tersebut menyatakan, pengikut agama-agama tersebut memiliki hak untuk melaksanakan ritual keagamaan dan mendirikan tempat ibadah “sesuai aturan hukum.” Di Undang-undang dasar terdahulu tidak menyebutkan adanya hak-hak agama selain Islam.

Selain itu, dokumen yang baru juga melarang terhadap penghinaan terhadap nabi-nabi dalam Islam.

Wewenang Presiden menjadi salah satu isu utama yang ada di Konstitusi 2012. Lewat pengesahannya, masa pemerintahan presiden Mesir kini dikurangi dari enam tahun menjadi empat tahun. Presiden juga hanya dapat dipilih kembali satu kali, tidak terbatas seperti dalam era Mubarak.

Kandidat perdana menteri yang dicalonkan presiden juga harus disetujui parlemen sebelum diangkat. Sebelumnya, presiden memiliki hak untuk menunjuk atau memecat perdana menteri tanpa veto parlemen.

Dalam hal kekuasaan militer, konstitusi yang baru secara signifikan memperkuat otoritas pasukan bersenjata Mesir. Dokumen itu menyatakan, presiden harus memilih menteri pertahanan dari pejabat tinggi militer. Pilihan tersebut tidak dibatasi sebelumnya.

Di bawah piagam yang baru, kekuasaan untuk menetapkan anggaran pasukan bersenjata juga dijamin oleh Dewan Pertahanan Nasional, setengah dari anggotanya adalah pejabat militer.

Pejabat senior militer juga mendapat kekuasaan lebih tinggi untuk menyeret warga sipil ke pengadilan militer, namun hanya dalam kasus-kasus kejahatan yang dianggap “membahayakan pasukan bersenjata.”

Selain itu, dokumen 2012 juga menciptakan Dewan Keamanan Nasional yang beranggotakan pejabat senior militer dan menteri Kabinet yang sipil dengan jumlah berimbang. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement