REPUBLIKA.CO.ID, Amerika Serikat disusul Uni Eropa memberlakukan sanksi terbaru berupa embargo terhadap impor minyak dari Iran secara resmi pada 1 Juli 2012. Tak hanya itu mereka juga membekukan aset Bank Sentral Iran.
Sanksi terbaru terhadap minyak Iran diterapkan walau berisiko terhadap pelonjakan harga energi dan ketidakstabilan keuangan global.
AS, rezim Zionis dan Uni Eroa menuduh Iran melakukan pengayaan uranium dan mengembangkan senjata nuklir –tuduhan yang berulang kali dibantah oleh Teheran.
Sanksi tak dipungkiri memang berdampak nyata, berdasar catatan resmi pemerintah Iran, yang paling terasa yakni penurunan ekspor minyak mentah Iran sebesar 1,6 juta barel per hari, sekitar 20-30 persen dari total ekspor minyak Iran. Bukan jumlah yang sedikit.
Sanksi tersebut tak hanya berimbas kepada sektor energi Iran, tetapi juga perekonomian dalam negeri Iran hingga kebutuhan domestik negara. Terjadi percepatan besar pada kenaikan harga kebutuhan pokok yang paling dirasakan oleh masyarakat menengah ke bawah.
Harga daging ayam misal, dari yang semula di kisaran 40 ribu riyal per kilogram pada awal Juli melonjak menjadi 80 ribu riyal (Rp40 ribuan) per kilogram di bulan yang sama.
Sanksi ekonomi AS membuat Iran kesulitan mengimpor pakan ternak. Situasi itu membuat pemerintah harus turun tangan menetapkan harga tunggal daging ayam menjadi 52 ribu riyal per kilogram.
Krisis daging ayam ini mendapat perhatian serius tak hanya di Iran tetapi juga Barat. Isu ini diliput mendalam oleh media hingga dijadikan diskusi panel panjang di saluran televisi Iran.
Menteri Industri dan Perdagangan bahkan sampai perlu mengingatkan reporter untuk berhenti mempublikasikan berita mengenai nilai tukar dan berita buruk ekonomi lain."Dalam situasi ekonomi perlawanan, kondisi psikologi publik jauh lebih penting daripada kekurang pasokan barang,' ujar Menteri Mehdi Ghazanfari seperti dikutip oleh Bloomberg.
Selain daging ayam, roti dan sayur adalah barang kebutuhan yang melejit cepat juga dalam hitungan pekan.