REPUBLIKA.CO.ID, Ketidakjelasan nasib etnis minoritas di Myanmar, Rohingya, menjadi salah satu fokus utama internasional, terutama dalam kasus penindasan HAM.
Hak Asasi Manusia untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) bahkan telah mendesak Myanmar untuk menghentikan kekerasan sekte di Rakhine, Rabu (31/10). PBB meminta pemerintah Myanmar agar tidak menggunakan konflik sebagai alasan mengeluarkan minoritas muslim Rohingya dari negara mereka.
PBB menyerukan keprihatinan atas sikap pemerintah Myanmar yang menganggap Rohingya sebagai imigran ilegal dan tanpa kewarganegaraan. Myanmar dituding menggunakan dalih konflik sebagai kesempatan untuk menghapus permanen sebuah komunitas yang tidak diinginkan.
"Jika negara ini ingin sukses dalam proses transisi demokrasi, maka harus berani mengatasi tantangan hak asasi manusia yang terjadi," ujarnya.
Kasus di Rakhine dinilai berasal dari sikap diskriminasi terhadap Muslim Rohingya. Diskriminasi yang berlangsung lama tersebut menjadi penyakit baik bagi pemerintah lokal maupun nasional bahkan masyarakat secara umum. Jika penyakit tersebut tak diatasi, maka kerusuhan akan terus terjadi.
Ahli independen PBB tentang isu minoritas, Rita Izsak, menuturkan Rohingya harus dilindungi sesuai dengan standar hak internasional untuk kaum minoritas. Akses dan layanan yang sama harus diberikan pada Muslim Rohingya.
"Pemerintah harus mengambil langkah untuk meninjau hukum dan prosedur yang relevan dalam menyediakan akses kewarganegaraan yang sama kepada komunitas Rohingya. Usung dialog dan rekonsiliasi antar komunitas," ujarnya.
Dilaporkan 89 orang tewas dalam kerusuhan di Myanmar Barat pada Oktober. Para etnis Rohingya mengatakan, rumah mereka dibakar oleh warga Rakhine.
PBB mengatakan, lebih dari 97 persen dari 28.108 pengungsi akibat kerusuhan tersebut merupakan muslim Rohingya. Mereka pun tak memiliki kewarganegaraan. Saat ini mereka bergabung dengan 75 ribu pengungsi Rohingya lain di kamp pengungsian.
Badan pengungsi PBB, UNHCR mengatakan, terdapat 6 ribu orang terdampar entah di perahu atau pulau di sepanjang pantai barat Myanmar. UNHCR pun meminta pihak berwenang dapat menegakkan hukum untuk mencegah pertumpahan darah kembali terjadi.
Biksu tolak kehadiran OKI
Terkait dengan kondisi pengungsi Rohingya, Organisasi Kerjasama Negara Islam (OKI) pernah mengajukan izin masuk ke Myanmar untuk memberi bantuan. Izin yang semula telah diberikan harus dicabut lagi setelah biksu di Myanmar melakukan aksi protes mentang kehadiran OKI di Myanmar
Mereka turun ke jalan, berdemonstrasi menuntut pemerintahan di ibu kota menolak upaya organisasi internasional tersebut membantu etnis Muslim Rohingya.
"Tidak ada OIC (OKI) di Myanmar," demikian yang dituliskan para biksu dalam spanduk penolakannya. Mereka berorasi di Mandalay, kota terbesar kedua, negara bekas junta militer itu, seperti dilansir kantor AFP
Koordinator aksi, Thaw Bi Ta mengatakan, penolakan para Biksu adalah semata-mata mengingatkan agar OKI menggugurkan niatnya untuk membuka posko kemanusian bagi etnis Muslim Rohingya, dan hengkang dari negara itu.
Dia menuduh OKI dan kelompok internasional, tidak objektif dalam menyalurkan bantuan bagi korban naas beberapa waktu lalu. Thaw menuding kelompok 57 negara berbasis Islam tersebut tidak bekerja dalam standar hak asasi internasional.
Sikap Diam Suu Kyi
Satu hal yang disayangkan oleh pengamat Internasional terutama Dunia Islam ialah sikap Aung San Suu Kyi yang cenderung 'bermain aman' dan tidak mau terlibat terlalu jauh dengan isu tersebut.
Suu Kyi yang dianggap paham betul betul bagaimana seharusnya menyikapi penindasan terhadap HAM, kesewenang-wenangan dan diskriminasi--mengingat sebagian besar hidupnya harus dijalani dalam tekanan pemerintah Junta--dinilai tidak mampu berbuat banyak, bahkan sekedar bersuara tegas seperti ketika partainya, NLD diberangus oleh pemerintah.