Senin 31 Dec 2012 11:57 WIB

Kaleidoskop Internasional: Mesir, dari Dekrit Hingga Referendum

Rakyat Mesir mendatangi tempat pemungutan suara dalam referendum konstitusi baru.
Foto: REUTERS
Rakyat Mesir mendatangi tempat pemungutan suara dalam referendum konstitusi baru.

REPUBLIKA.CO.ID, Ikhwanul Muslimin mengamankan 64 persen suara 'ya' dalam referendum konsitusi baru Mesir. Sementara kubu oposisi menuding terjadi manipulasi suara dalam referendum kontroversial yang terbagi dua tahap itu, 15 Desember dan 22 Desember lalu.

Dua tahun setelah Husni Mubarak digulingkan, Mesir belum juga stabil. Gejolak terkini ditimbulkan oleh rancangan konstitusi baru yang dianggap kelompok oposisi 'berat sebelah' sekaligus upaya Faksi Islamis untuk menggiring negara itu ke bentuk negara Islam.

Negara itu baru saja menggelar referendum atas konstitusi baru dua kali putaran pada 15 dan 22 Desember lalu. Berdasar hasil referendum, 64 persen suara, tepatnya 63,8 memilih ya. Namun koalisi oposisi, yang tergabung dalam National Salvation Front, menganggap ada kecurangan serius dalam referendum tersebut.

Mesir mengalami polarisasi. Suara terbelah di kalangan Rakyat Mesir sebenarnya sudah terlihat gamblang. saat pemilu presiden pada Juni lalu. Saat itu Muhammad Mursi tidak menang telak, melainkan tipis terpaut hanya 1 juta suara dari pesaingnya, Ahmad Shafiq, tokoh era Mubarak yang didukung mayoritas liberal.

Perbedaan suara Mursi dan Shafiq adalah 51:49 atau 13,2 juta suara banding 12,3 juta suara. Keunggulan sangat tipis itu dipahami pengamat tak memberikan cukup kekuatan terlegitimasi bagi Mursi untuk menentukan halauan konstitusi tanpa dukungan kubu oposisi.

Kenyataannya konsensus antara Mursi dengan oposisi tidak terjadi. Tidak pernah ada titik temu antara Ikhwanul Muslimin dan kubu liberal dalam pembahasan konstitusi yang mulai berjalan Juni lalu di Majelis Rakyat.

Saat itu kedua kubu sudah menyepakati bersama bahwa pasal 2 dalam draf konstitusi--berisikan total 230 pasal--itu berbunyi, "Prinsip-prinsip Syariah adalah Sumber Hukum". Namun begitu masuk pasal 219, konsensus antara pendukung Mursi dan oposisi ambyar.

Dalam pasal itu anggota parlemen dari Ikhwanul Muslimin mendesakkan aturan dan penjelasan tentang prinsip-prinsip syariah. Kelompok Salafi dan Ikhwanul berkeras bahwa prinsip syariah yang dimaksudkan dalam pasal 2 harus dijelaskan lebih luas dalam pasal 219, meliputi adilla kulli (kaidah universal), qawaid ushuliyah (ushul fikih), qawaid fiqhiyyah (kaidah fikih), dan tak ketinggalan, sumber-sumber kitab Sunni.

Keberadaan pasal 219 itulah yang ditolak keras oleh kubu liberal. Mereka menilai pasal itu adalah upaya Ikhwanul Muslimin dan Salafi untuk menggiring Mesir menuju negara Islam. Sedangkan suara-suara dari kaum Salafi menyebut kubu liberal terlalu paranoid.

Perwakilan Kristen Koptik di majelis, seperti dilaporkan Alljazirah, melakukan aksi walk out, disusul oleh koalisi partai liberal. Situasi itu otomatis hanya menyisakan kaum Salafi dan Ikhwanul Muslimin dalam Majelis Rakyat. Golongan yang tersisa inilah yang terus merumuskan dan menyusun draf konstitusi hingga akhir.

Jalan tengah sebenarnya telah diupayakan oleh Mursi dengan memundurkan tenggat penyusunan konstitusi dua bulan lagi.

Sayangnya, dekrit yang dibuat Mursi juga mengandung kontroversi, salah satunya mengatur bahwa presiden memiliki kekebalan hukum hingga konstitusi baru disahkan. Dekrit itu kontan memicu penolakan lebih luas dari kubu oposisi. Sepekan kemudian dekrit tersebut dicabut setelah protes bergulir tanpa henti.

Kini konstitusi baru segera disahkan. Mursi juga beritakan telah meminta kelompok oposisi untuk bersama-sama membangun Mesir. Meskipun demikian masa depan pemerintahan yang stabil masih diragukan pengamat bakal terjadi di negara itu dalam waktu dekat.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement