Senin 07 Jan 2013 18:37 WIB

Abbas Ubah Penyebutan Nama Palestina

Rep: Bambang Noroyono / Red: Citra Listya Rini
Presiden Palestina Mahmoud Abbas berpidato di hadapan Sidang Umum PBB, Kamis (27/9)
Foto: AP Photo
Presiden Palestina Mahmoud Abbas berpidato di hadapan Sidang Umum PBB, Kamis (27/9)

REPUBLIKA.CO.ID, TEPI BARAT -- Presiden Palestina Mahmoud Abbas meminta penghapusan kata otoritas dalam setiap penyebutan nama negara tersebut. Abbas memerintahkan semua lembaga kenegaraan mengganti kata otoritas menjadi negara.

Keputusan tersebut berlaku pada Ahad (6/1) lalu. Abbas memulai dengan membuat paspor baru dengan menyebutkan Negara Palestina di dalam identitas internasional tersebut.

Langkah serupa juga diberlakukan untuk identitas domestik, lisensi mengemudi, dan surat resmi kenegeraan.Bahkan, kantor berita WAFA mengabarkan, negara baru tersebut membuat perangko edisi khusus untuk menghapus nama Otoritas Palestina menjadi Negara Palestina.

"(Penyebutan dalam) dokumen resmi akan membantu memperkuat Negara Palestina," kata Abbas seperti dilansir Aljazeera, Senin (7/1).

Menurut dia, sudah menjadi hak warga Palestina untuk menjadi komunitas negara yang merdeka di tanahnya sendiri. Peningkatan status negara pengamat nonanggota tahun lalu, menjadi acuan internasional yang memperkuat pernyataannya tersebut.

Disampaikan Abbas, dokumen resmi Negara Palestina sudah dikeluarkan oleh Kementerian Luar Negeri sepakan terakhir. Dikatakan olehnya, stampel baru dan bertuliskan Negara Palestina juga mulai digunakan dalam korespondensi di setiap kedutaan dan perwakilan negara tersebut.

Selama ini, dokumen resmi yang dikeluarkan oleh Pemerintah Abbas, termasuk identitas lainnya, kerap menggunakan stempel Otoritas Palestina. Surat menyurat antar pemerintahpun, menuliskan Otoritas Palestina dalam kop surat yang dikeluarkan.

Negosiator Perundingan Palestina, Mohammed Shtayyeh mengatakan kampanye penggunaan nama Negara Palestina oleh Abbas adalah bentuk peringatan. Menurut dia, pengunaan nama Otoritas Palestina secara de facto dan hukum internasional sudah tidak lagi pantas.

"Ini (penyebutan negara) selaras dengan pengakuan internasional," kata Shtayyeh seperti dikutip Wall Street Journal.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement