REPUBLIKA.CO.ID,Park Geun-Hye berusia sembilan tahun ketika memasuki Blue House, setelah ayahnya melakukan kudeta militer menggulingkan Yun Bo-seon, Mei 1961. Ia melewati masa anak-anaknya di lingkungan istana, bersama saudaranya.
Ia menamatkan kuliahnya di Fakultas Teknik Kelistrikan, Universitas Sogang pada 1974. Tahun itu pula ia berangkat ke Prancis untuk melanjutkan studi di Universitas Grenoble.
Geun-hye hanya beberapa bulan berada di Prancis. Ia harus kembali ke Seoul, menyusul pembunuhan terhadap ibunya di Teater Nasional Korea, 15 Agustus 1974. Pembunuhnya adalah Mun Se-gwang—warga Korea Utara kelahiran Jepang. Se-gwang melakukan pembunuhan atas perintah rezim Pyongyang.
Sebagai anak tertua, Geun-hye berada di samping sang ayah dalam setiap acara kenegaraan. Ia menjadi first lady Korsel sampai 26 Oktober 1979, atau sampai Park Chung-hee ditembak mati Kim Jae-kyu, mantan direktur badan intelejen Korsel (KCIA) usai pesta di Jongno-gu, Seoul.
Geun-hye berusia 27 tahun ketika harus meninggalkan Blue House, simbol kekuasaan tertinggi dalam politik Korsel yang merengut kedua orang tuanya, dan kembali ke tengah masyarakat. Ia meninggalkan semua kenangan indah kehidupan istana, dan memulai hidup di tengah masyarakat Korsel yang memuja dan membenci ayahnya.
Bagi sebagian orang Korsel, Park Chung-hee adalah manusia ‘setengah dewa’, berkat suksesnya membangun landan industrialisasi dan perekonomian negara. Sedangkan bagi para aktivis hak asasi manusia, Park Chung-hee adalah diktator.
Selama 18 tahun berkuasa, Chung-hee menjebloskan banyak aktivis dan penggerak aksi protes prodemokrasi ke penjara dan menyiksanya. Geun-hye tahu semua itu. Sebagai first lady, Geun-hye kerap menjadi sasaran aksi protes kelompok prodemokrasi.