Kamis 10 Jan 2013 01:20 WIB

Kisah Park Geun-hye Kembali ke Blue House (V)

Rep: Teguh Setiawan/ Red: M Irwan Ariefyanto
Kandidat dari kubu konservatif Park Geun Hye (60) berhasil mengungguli saingannya Moon Jae In dari kubu liberal pada Pemilu yang berlangsung pada Rabu (19/12).
Foto: Times.co.uk
Kandidat dari kubu konservatif Park Geun Hye (60) berhasil mengungguli saingannya Moon Jae In dari kubu liberal pada Pemilu yang berlangsung pada Rabu (19/12).

REPUBLIKA.CO.ID,Sejak Myung-bak resmi memerintah Korsel, Geun-hye kerap unggul dalam jajak pendapat mengenai siapa presiden Korsel berikut. Rating tertinggi diperoleh dalam jajak pendapat nasional 2008, setelah partainya memenangkan pemilu majelis nasional, tapi mencapai titik terendah dua tahun kemudian akibat sikapnya menentang Myung-bak dalam masalah Sejong City.

Situasi ini dimanfaatkan lawan-lawan politiknya. Pada September 2011, kelompok independen memunculkan Ahn Cheol-soo—mantan pembisnis IT dan dekan salah satu fakultas Universitas Nasional Seoul—sebagai calon presiden. Dalam jajak pendapat bulan itu, Geun-hye dan Cheol-soo bertarung. Hasilnya, kali pertama sejak 2008 Geun-hye merosot ke urutan kedua.

Setelah pemilu parlemen 2012, popularitas Geun-hye terdongkrak lagi. Dalam survei yang digelar Mono Research, 30 Agustus 2012, Geun-hye bertengger di urutan teratas dalam daftar kandidat presiden dengan perolehan 45,5 persen.

Survei ini digelar satu bulan setelah Geun-hye mengumumkan pencalonannya sebagai presiden Korsel di Yeongdeungpo-gu, Seoul. Moon Jae-in, dari Partai Demokrat, mengumumkan pencalonannya, 17 September, dan Cheol-soo dua hari kemudian.

Menariknya, meski disebut-sebut sebagai leading candidate, Geun-hye berada di urutan terbawah dalam survei nasional yang digelar pada 22 September 2012.

Penyebabnya, menurut survei Korean Research terhadap 12 calon presiden Korsel, Geun-hye dianggap sebagai kandidat paling konservatif. Dalam janji kampanye 2008, Geun-hye memperlihatkan sikap politiknya yang propasar, memotong pajak, mengurangi regulasi, dan membangun hukum dan ketertiban yang kokoh. Setahun kemudian, Geun-hye mulai fokus pada isu kesejahteraan sosial.

Geun-hye juga dikenal karena kepatuhannya yang ketat, tanpa kompromi dengan janji politik. Ia berjanji menentang rencana Myung-bak membangun Sejong City sebagai pusat pemerintahan baru. Janji itu direalisasikan, kendati akibatnya adalah popularitasnya menurun.

Sebagai putri Park Chung-hee, dan empat tahun menjalani hidup sebagai first lady, banyak orang berpikir Geun-hye tidak akan bisa melepaskan diri dari bayang-bayang kebesaran ayahnya. Ia juga tidak bisa melepaskan statusnya sebagai putri seorang diktator.

Selama kampanye kepresidenan, lawan-lawan politik Geun-hye—terutama dari sayap kanan dan pendukung Myung-bak—mengeksploitasi status Geun-hye sebagai putri Park Chung-hee, dengan menyebutnya simbol otoritarian dari masa lalu. Ia sama sekali tidak memperoleh simpati sedikit pun dari generasi yang pernah terlibat dalam demo menentang otoritarian Park Chung-hee.

Anehnya, dalam jajak pendapat Juli 2012, 59,2 persen responden mengatakan, tidak percaya Geun-hye putri seorang diktator, 35,5 persen menjawab sebaliknya. Saat wawancara televisi, Geun-hye ditanya apakah kudeta 16 Mei 1961 yang membuat Park Chung-hee berkuasa sebuah revolusi menyelamatkan negara, Geun-hye menjawab, “Saya tidak berpikir apakah itu kudeta atau revolusi.”

Dalam jajak pendapat Juli 2012, 49,9 persen responden menjawab tidak setuju dengan penilaian Geun-hye bahwa kudeta Mei 1961 tidak dapat dihindari, pilihan terbaik, dan sesuatu yang harus dilakukan. Lainnya, sebanyak 37,2 persen mengatakan setuju dengan kudeta yang dilakukan Park Chung-hee.

Geun-hye tidak pernah mengkritik semua yang dilakukan ayahnya selama 18 tahun berkuasa. Kepada Time, Geun-hye mengatakan, “Saya meminta maaf atas semua ekses yang terjadi di masa kekuasaan ayah saya. Saya lebih tahu dari siapa pun tentang ayah saya. Kini, saya ingin dinilai berdasarkan kemampuan saya.”

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement