REPUBLIKA.CO.ID, BAMAKO -- Militer Prancis membombardir markas gerilyawan Mali di Kota Gao, Mali utara lewat serang udara, Ahad (14/1) waktu setempat.
Serangan itu membuat pasukan gerilyawan kocar-kacir. Serangan Prancis itu dilancarkan empat jet tempur Prancis, Rafale.
Lapangan untuk berlatih, prasarana, dan pangkalan logistik gerilyawan hancur, lapor Xinhua. Dalam beberapa hari ke depan, pasukan darat Mali yang didukung oleh tentara dari Masyarakat Ekonomi Negara Afrika Barat (ECOWAS), diperkirakan akan menyisir daerah tersebut guna memberangus daerah yang menjadi kantung-kantung perlawanan.
Sejumlah saksi mata mengatakan pascapemboman tersebut gerilyawan melarikan diri dari Kota Kecil Askia. Pemuda di Gao lalu menggelar perayaan di Askia. Mereka berjanji bakal mendukung militer memburu gerilyawan ke luar daerah tersebut.
Kecemasan akan serangan tersebut menyebar ke kota-kota satelit lainnya, seperti Timbuktu dan Kidal. Kedua kota tersebut diduduki gerilyawan di utara Mali. Mereka mencemaskan kerusuhan dapat meluas dalam waktu dekat.
Pada Ahad kemarin, gerilyawan terlihat mengepung bandar udara setempat di Timbuktu. Sementara upaya memperoleh keterangan dari Kidal tak memperoleh hasil. Pasalnya, saluran komunikasi gerilyawan diputus dari belahan lain dunia.
Pertempuran sengit meletus antara gerilyawan dan militer Mali di Kota Kecil Konna. Pada Jumat (10/1) lalu, Prancis mengkonfirmasi campur-tangan tentaranya menghentikan gerilyawan bergerak maju ke arah Selatan yang saat ini dikuasai pemerintah.
Para gerilyawan bersumpah membalas serangan Prancis yang sudah memporak-porandakan markas dengan pesawat tempur, Senin (14/1).
"Prancis telah menyerang Islam. Kami akan menyerang jantung Prancis," kata Abou Dardar, seorang pemimpin Gerakan Keesaan dan Jihad di Afrika Barat (Mujao), sebuah cabang dari Al Qaeda di Maghreb Islam (Aqim), kepada AFP via telepon.