Senin 21 Jan 2013 06:21 WIB

12 Warga Jepang Tewas Dibunuh di Aljazair

Korban meninggal dunia (ilustrasi)
Foto: www.123rf.com
Korban meninggal dunia (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID,  IN AMENAS, ALJAZAIR -- Sebanyak 12 warga Jepang yang  menjadi korban penyenderaan di Aljazair ditemukan tewas dibunuh para penyandera.

Ke-12 jenazah warga Jepang itu berada di sebuah ruang jenazah di In Amenas, Aljazair.

"Ke-12 mayat yang disimpan di ruang jenazah adalah warga Jepang," kata sumber itu kepada AFP setelah pemerintah di Tokyo menyatakan belum mengetahui nasib 10 warga Jepang di Aljazair.

Sumber itu tidak memberikan penjelasan terinci mengenai kewarganegaraan korban-korban lain dalam serangan penyanderaan oleh militan garis keras di sebuah kompleks ladang gas terpencil dan hanya mengatakan, "Kami masih dalam proses mengumpulkan keterangan."

Di Tokyo, sebuah perusahaan teknik Jepang mengatakan, 10 warga Jepang dan tujuh pekerja asingnya belum diketahui keberadaannya.

Dua warga Aljazair selamat dalam krisis penyanderaan itu. Kedua sandera yang selamat itu dipekerjakan oleh perusahaan Jepang JGC.

Korban yang selamat mengatakan, sembilan pekerja Jepang tewas selama krisis empat hari itu, yang berakhir Sabtu dengan serangan oleh pasukan khusus Aljazair.

Sebuah pesawat khusus pemerintah meninggalkan Aljazair menuju Tokyo pada Minggu malam untuk memulangkan tujuh pekerja JGC Jepang yang selamat dalam penyanderaan itu.

Krisis meletus sejak Rabu pagi lalu ketika militan garis keras menyandera 41 orang asing, termasuk tujuh warga AS, setelah serangan terhadap sebuah ladang gas di Aljazair timur.

Serangan itu dilakukan kelompok militan sebagai pembalasan atas serangan-serangan udara Prancis terhadap militan garis keras yang menguasai wilayah Mali utara.

Prancis, yang bekerja sama dengan militer Mali, pada 11 Januari meluncurkan operasi militer ketika militan mengancam maju ke ibu kota Mali, Bamako, setelah keraguan berbulan-bulan mengenai pasukan intervensi Afrika untuk membantu mengusir kelompok garis keras dari wilayah utara.

Mali, yang pernah menjadi salah satu negara demokrasi yang stabil di Afrika, mengalami ketidakpastian setelah kudeta militer pada Maret menggulingkan pemerintah Presiden Amadou Toumani Toure.

Masyarakat internasional khawatir negara itu akan menjadi sarang baru teroris dan mereka mendukung upaya Afrika untuk campur tangan secara militer.

Rencana-rencana sedang dirampungkan untuk mengirim pasukan intervensi Afrika berkekuatan sekitar 3.300 prajurit untuk mengusir militan yang menguasai wilayah utara Mali, namun PBB masih berkeberatan dan memperingatkan bahwa penempatan itu mungkin baru bisa dilakukan September mendatang.

Kelompok garis keras, yang kata para ahli bertindak di bawah payung Al Qaida di Maghribi Islam (AQIM), saat ini menguasai kawasan Mali utara, yang luasnya lebih besar daripada Prancis.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement