REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) akan menyelidiki pesawat tanpa awak (drone) milik Amerika Serikat (AS) dan Inggris yang menyerang di Afghanistan, Pakistan, Yaman, dan Somalia. Bukti serangan drone Israel ke Palestina juga akan dikumpulkan.
Permintaan pemeriksaan ini merupakan hasil dari permintaan oleh beberapa negara, termasuk Pakistan dan dua anggota tetap Dewan Keamanan PBB.
Seorang pelapor khusus PBB Ben Emmerson QC, akan mengungkapkan secara detail yang mencakup pemeriksaan penggunaan militer kendaraan udara tak berawak atau unmanned aerial vehicles (UAV) milik negara-negara seperti Inggris di Afghanistan, serangan AS di Pakistan, serta di wilayah Sahel Afrika ketika konflik di Mali terjadi.
PBB juga akan mengumpulkan bukti tentang serangan drone Israel di wilayah Palestina.
Sekira 20 atau 30 serangan dipilih sebagai contoh serangan yang akan dipelajari untuk menilai sejauh mana setiap korban sipil, identitas militan yang ditargetkan, dan legalitas serangan di negara-negara di mana PBB belum secara resmi mengakui ada konflik.
Pemeriksaan itu akan dilaporkan saat sidang umum PBB di New York, AS musim gugur ini. Hasil temuan memungkinkan untuk direkomendasikan tindakan lebih lanjut.
Sebelumnya Emmerson telah menyarankan beberapa serangan pesawat tak berawak , terutama yang dikenal sebagai serangan ganda atau ‘double tap’, di mana penyelamat yang member bantuan saat ledakan pertama kemudian menjadi korban dari serangan berikutnya memungkinkan sebagai sebuah kejahatan perang.
Nantinya Emerson tidak bekerja sendiri, karena ada berbagai pihak yang bekerja sama dengannya. Di antaranya mantan direktur penuntutan publik yaitu Lord Macdonald QC, mantan jaksa di pengadilan pidana internasional untuk bekas negara Yugoslavia, yaitu Sir Geoffrey Nice QC, dan Dr Nat Cary, salah seorang patolog paling berpengalaman di Inggris yang mengkhususkan diri dalam menafsirkan luka yang disebabkan oleh ledakan.
Permintaan tersebut akan dikoordinasikan melalui tempat Emmerson bekerja yaitu kantor PBB di Jenewa, Swiss.
Staf di Jenewa telah mulai memeriksa rincian serangan drone individu.
Emmerson mengatakan bahwa, bukti berkas terkumpul, maka tidak langsung semerta-merta membuat (pelaku) bertanggung jawab secara hukum, tetapi akan memungkinkan pelaku menjadi negara yang dituduh dan bertanggung jawab dan mendapatkan tanggapan.
Kementerian Pertahanan, lanjut Emmerson, meyakinkan bersedia untuk bekerja sama. Dewan Hubungan Luar Negeri AS baru-baru ini merekomendasikan bahwa presiden AS harus memberikan informasi kepada publik, Kongres, dan pelapor khusus PBB tanpa mengungkapkan informasi rahasia - tentang prosedur yang ada untuk mencegah bahaya terhadap warga sipil.
‘’Salah satu pertanyaan mendasar adalah serangan udara dengan menggunakan drone merupakan metode konflik yang tepat, dimana individu ada didalam dalam masyarakat setempat,’’ ujar Emmerson seperti dilansir dari laman guardian.co.uk. Kamis (24/1).
Emmerson juga mempertanyakan mengenai serangan udara membawa risiko terlalu tinggi menimbulkan korban sipil yang tidak proporsional, mengingat demografi lokal yang ada.
‘’Ledakan teknologi drone menimbulkan pertanyaan apakah ketergantungan militer UAV dapat membawa resiko korban sipil yang sangat tinggi,’’ tutur Emmerson.
Pejabat AS membenarkan terjadinya banyak serangan drone di Yaman, Pakistan dan Somalia yang diakui sebagai bagian dari perang global terhadap terorisme.
Namun pemerintahan AS baru-baru ini mengakui adanya kebutuhan untuk menunjukkan pembenaran hukum terkait pembunuhan kepada sasaran yang ditargetkan di hadapan masyarakat internasional.
Menurut penelitian oleh Biro Jurnalisme Investigatif, antara Juni 2004 dan September 2012, serangan drone telah menewaskan antara 2.562 dan 3.325 orang di Pakistan. Sekira antara 474 dan 881 orang adalah warga sipil yang tewas, termasuk 176 anak-anak.