Sabtu 26 Jan 2013 05:54 WIB

Dua Tahun Revolusi, Mesir Terus Berbenah (I)

Rep: Indah Wulandari, Bambang Noroyono / Red: M Irwan Ariefyanto
Pendukung kelompok oposisi di Mesir berunjuk rasa
Foto: FRANCE.24.COM
Pendukung kelompok oposisi di Mesir berunjuk rasa

REPUBLIKA.CO.ID,KAIRO -- Puluhan ribu orang menyemut di Lapangan Tahrir, Kairo, Jumat (25/1). Hari itu adalah hari kedua massa berkumpul untuk memperingati dua tahun Revolusi 25 Januari.

Dua tahun lalu, Lapangan Tahrir juga menjadi saksi bisu pergolakan rakyat melawan tirani kekuasaan Husni Mubarak yang sudah bertakhta sejak 1981. Revolusi 25 Januari yang merupakan bagian dari proses Revolusi Arab (Arab Spring) memang sudah menumbangkan rezim Mubarak.

Namun, pergantian kekuasaan yang harus diawali dengan bentrok berdarah itu sampai kini masih menyisakan pekerjaan besar. Puluhan ribu orang yang berkumpul di Tahrir seakan ingin terus mengingatkan agenda revolusi Mesir belum usai. "Hari ini kami merayakan revolusi sebagai pencapaian rakyat, tapi juga mendorong tuntutan revolusi lainnya harus dipenuhi," ujar anggota eksekutif Partai Kebebasan dan Keadilan, Farid Ismail.

Teriakan Farid di tengah-tengah lautan massa di Tahrir seakan peringatan keras bagi Presiden Mesir Muhammad Mursi agar terus mengawal agenda revolusi yang diteriakkan rakyatnya dua tahun lalu.

Bentrokan massa dengan aparat kepolisian pada Kamis (24/1) sedikit menyiratkan keraguan, apakah reformasi yang diimpikan rakyat Mesir bakal terwujud? Menengok tonggak revolusi Mesir medio Januari 2011 yang penuh pemberontakan, optimisme atas pertanyaan itu tergerus. Mesir masih dibayangi tindak anarkis.

Bayang-bayang anarkisme di Mesir juga terpancar dari peristiwa bentrokan antaragama yang mulai sering terjadi seusai Husni Mubarak terjungkal dari kekuasaannya. Situasi keamanan di Mesir juga mulai menurun dan konflik kian memanas. Di bidang politik, demonstrasi atas nama demokrasi masih marak. Demonstran yang terdiri atas para aktivis itu umumnya masih mengkhawatirkan penguasa memboikot arus reformasi guna melindungi kepentingan mereka.

Direktur Pusat Kajian Timur Tengah dan Dunia Islam Universitas Muhammadiyah Jakarta Hery Sucipto menilai, tuntutan dari kalangan pemuda Mesir yang tak terbendung hingga tahun kedua reformasi itu wajar. Dalam konteks reformasi, kata Hery, para aktivis tidak bisa banyak berbuat dan tak bisa menjadi bagian kekuatan motor reformasi. "Mereka berpersepsi yang menikmati reformasi itu hanya kalangan Ikhwanul Muslimin," kata Hery.

Hery melihat bentuk negara demokrasi Mesir sebenarnya sudah terwujud melalui pemilu langsung. Sayangnya, kini Mesir harus dihadapkan kembali pada krisis konstitusi akibat adanya perbedaan "pusat-pusat kekuatan" di negara itu. Presiden Mursi berusaha mengubah status quo. Namun, langkah itu justru menyebabkan reaksi penolakan yang besar dari partai-partai sekuler yang keras kepala dan yudikatif. "Sementara tentara membiarkan Mursi menjadi lemah," ujar Hery.

Menurut Hery, sistem yang dibangun militer Mesir masih mengabadikan kepentingan Amerika Serikat dan melindungi Israel. Di sisi lain, banyak orang turun ke jalan untuk menuntut perubahan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement