Selasa 05 Feb 2013 14:45 WIB

Israel Tahan 23 Anggota Hamas

Rep: Rr Laeny Sulistyawati/ Red: Dewi Mardiani
Pemimpin politik Hamas, Khaled Misyal (kiri), saat bertemu Presiden Mesir, Muhammad Mursi (kanan) di Kairo.
Foto: Alarabiya.net
Pemimpin politik Hamas, Khaled Misyal (kiri), saat bertemu Presiden Mesir, Muhammad Mursi (kanan) di Kairo.

REPUBLIKA.CO.ID, TEPI BARAT -- Pasukan Israel klaim menahan 23 anggota gerakan Hamas di Tepi Barat, Senin (4/2). Dikabarkan beberapa di antara mereka adalah anggota parlemen Hamas.

Tapi, seorang juru bicara militer Israel enggan mengonfirmasi apakah anggota parlemen Hamas telah ditangkap dan tidak memberikan nama-nama orang yang ditahan. ’’Sebanyak 25 warga Palestina ditangkap, 23 orang di antaranya anggota Hamas,’’ katanya seperti dikutip dari laman Aljazirah, Selasa (5/2).

Juru bicara tersebut juga enggan mengatakan mengapa mereka ditahan. Israel, Amerika Serikat (AS), dan Uni Eropa memang menganggap Hamas sebagai organisasi teroris.

Hamas mengatakan bahwa tiga anggota parlemen, yaitu Ahmed Attoun, Hatem Qafisha, dan Mohammed al-Talhad ditahan saat dini hari serta menahan beberapa ketua Hamas setempat. ’’Ini adalah tindakan kriminal yang tidak akan berhasil menghentikan perjuangan mereka. Hamas sangat mengutuk penangkapan sewenang-wenang yang terjadi kepada puluhan pemimpin Hamas,’’ ucap pernyataan tersebut.

Seorang pejabat senior Palestina di Tepi Barat Hanan Ashrawi mengecam penangkapan tersebut. Ashrawi menggambarkan penangkapan itu sebagai rencana Israel yang disengaja untuk mengacaukan situasi internal, mencampuri lembaga-lembaga Palestina, dan menghancurkan rekonsiliasi nasional.

Hamas memenangkan pemilu parlemen Palestina pada tahun 2006 silam. Sejak Hamas menguasai Gaza pada tahun 2007, Palestina menjadi terpecah. Hamas mengusir pasukan dari partai Fatah yang dipimpin Presiden Palestina, Mahmoud Abbas, dalam konflik berdarah. Abbas hanya berkuasa di beberapa bagian di Tepi Barat, dan Hamas memegang memerintah di Gaza.

Kesepakatan Rekonsiliasi sempat terjadi pada 2011 lalu di Kairo, Mesir. Kesepakatan di Kairo dimaksudkan untuk membuka jalan pemilihan presiden dan legislatif pada Mei 2012 lalu. Namun perbedaan pendapat mengenai siapa yang akan memimpin pemerintah transisi memperkeruh pelaksanaan perjanjian. Terakhir kali Mesir menjadi mediator rekonsiliasi antara mereka Januari 2013 lalu.

sumber : AP/Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement