Kamis 07 Feb 2013 04:17 WIB

Prancis Berharap PBB Ambil Alih Misi di Mali April

Tentara Prancis berjalan meniggalkan hanggar di pangkalan udara militer Mali di Bamako, Senin (14/1). (Reuters/Joe Penney)
Tentara Prancis berjalan meniggalkan hanggar di pangkalan udara militer Mali di Bamako, Senin (14/1). (Reuters/Joe Penney)

REPUBLIKA.CO.ID, PARIS -- Prancis berharap PBB mengambil alih operasi penjaga perdamaian di Mali pada April, kata Menteri Luar Negeri Laurent Fabius, Rabu.

Fabius mengatakan kepada wartawan, Prancis berusaha agar misi saat ini yang dipimpin Afrika berada di bawah payung PBB dan mengkonfirmasi bahwa Prancis berencana memulai penarikan pasukannya pada Maret.

Menurut Fabius, pasukan pimpinan Afrika AFISMA yang sudah dibentuk di Mali akan berada dalam posisi mengambil alih sebagai sebuah pasukan PBB.

"Bila keamanan terjamin, kita tentu bisa memperkirakan bahwa tanpa mengubah struktur, hal ini akan berlangsung dalam kerangka operasi pemeliharaan perdamaian. Menguntungkan berada di bawah payung PBB, dalam hal pendanaannya," kata Fabius kepada wartawan Perhimpunan Pers Inggris-Amerika di Paris.

"Ini sama sekali tidak berarti bahwa organisasi itu (AFISMA) akan diubah, hanya semata-mata berada di bawah payung umum PBB," katanya.

Ketika ditanya apakah mungkin pada April, setelah pasukan Prancis mulai ditarik, Fabius menjawab, "Ya, banyak spesialis dan mitra kami bekerja dalam persepektif ini."

Prancis, yang bekerja sama dengan militer Mali, pada 11 Januari meluncurkan operasi ketika militan mengancam maju ke ibu kota Mali, Bamako, setelah keraguan berbulan-bulan mengenai pasukan intervensi Afrika untuk membantu mengusir kelompok garis keras dari wilayah utara.

Sebanyak 3.500 prajurit Prancis saat ini sudah berada di daratan Mali. Para pemimpin pertahanan kelompok negara Afrika Barat ECOWAS telah setuju meningkatkan jumlah pasukan yang dijanjikan untuk Mali menjadi 5.700.

Prancis menyatakan, 2.700 prajurit Afrika telah berada di daratan Mali dan di negara tetangganya, Niger. Mali, yang pernah menjadi salah satu negara demokrasi yang stabil di Afrika, mengalami ketidakpastian setelah kudeta militer pada Maret 2012 menggulingkan pemerintah Presiden Amadou Toumani Toure.

Masyarakat internasional khawatir negara itu akan menjadi sarang baru teroris dan mereka mendukung upaya Afrika untuk campur tangan secara militer.

PBB telah menyetujui penempatan pasukan intervensi Afrika berkekuatan sekitar 3.300 prajurit di bawah pengawasan kelompok negara Afrika Barat ECOWAS. Dengan keterlibatan Chad, yang telah menjanjikan 2.000 prajurit, berarti jumlah pasukan intervensi itu akan jauh lebih besar.

Kelompok garis keras, yang kata para ahli bertindak di bawah payung Al Qaida di Maghribi Islam (AQIM), menguasai kawasan Mali utara, yang luasnya lebih besar daripada Prancis, sejak April tahun lalu.

Pemberontak suku pada pertengahan Januari 2012 meluncurkan lagi perang puluhan tahun bagi kemerdekaan Tuareg di wilayah utara yang mereka klaim sebagai negeri mereka, yang diperkuat oleh gerilyawan bersenjata berat yang baru kembali dari Libya. Namun, perjuangan mereka kemudian dibajak oleh kelompok-kelompok muslim garis keras.

Kudeta pasukan yang tidak puas pada Maret dimaksudkan untuk memberi militer lebih banyak wewenang guna menumpas pemberontakan di wilayah utara, namun hal itu malah menjadi bumerang dan pemberontak menguasai tiga kota utama di Mali utara dalam waktu tiga hari saja.

sumber : Antara/ AFP
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement