Senin 11 Feb 2013 19:54 WIB

Menteri dari Partai Presiden Tunisia Mundur

Rep: Rr Laeny Sulistyawati/ Red: Dewi Mardiani
Pendukung Partai Ennahda Tunisia
Foto: AP Photo/Benjamin Girette
Pendukung Partai Ennahda Tunisia

REPUBLIKA.CO.ID, TUNIS -- Krisis politik Tunisia kini memasuki fase baru menyusul diumumkannya menteri-menteri kabinet dari partai sekuler Republik yang mundur dari koalisi pemerintah, Ahad (10/2).

Pengamat politik Tunisia sekaligus jurnalis, Ali Dkhil, memperingatkan reputasi bangsa yang stabil merupakan benteng moderasi kini sedang diuji, jika partai islam yang berkuasa di Tunisia, yaitu Ennahda menyalahgunakan respon terhadap pembunuhan oposisi politisi Chokri Belaid, Rabu (6/2).

’’Tunisia bisa hidup tanpa makanan, tetapi mereka tidak dapat hidup tanpa stabilitas dan ketenangan,’’ kata Dkhil.

Belaid yang tewas ditembak yang belum diketahui siapa pelakunya dipandang sebagai momen puncak kebuntuan antara oposisi dan koalisi yang memerintah dari Partai Ennahda dan dua partai sekuler.

Analis Riccardo Fabiani mengatakan, setelah pembunuhan itu, Perdana Menteri Tunisia, Hamadi Jebali, menawarkan kompromi dengan mengatakan dia akan membentuk pemerintahan teknokrat yang tidak berhubungan dengan partai politik untuk memecahkan masalah krisis dan pemilu baru. Tapi tawaran itu ditolak oleh parta Ennahda serta rakyat.

’’Pengumuman mundurnya menteri-menteri kabinet Partai Republik yang juga partai dari Presiden Tunisia Moncef Marzouki ini menunjukkan mereka marah pada penanganan Ennahda terhadap krisis negara itu. Itu mungkin pada akhirnya justru memperkuat pejabat,’’ ujar Fabiani. Tapi, lanjut Fabiani, bagaimanapun, Ennahda disebutnya sebagai partai Islam yang paling moderat di dunia Arab.

Sejak pemilihan umum, Ennahda telah bekerja dengan partai-partai sekuler lainnya dan berkompromi dengan oposisi mengenai isu-isu yang saat ini sedang ditulis di konstitusi. Padahal isi konstitusi itu tidak ada dalam hukum Islam.

sumber : AP
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement