Kamis 14 Feb 2013 08:47 WIB

Jepang Disebut Biang Kerok Perang Mata Uang Global

Layar televisi menunjukkan PM Abe sedang menghadiri dengar pendapat masalah anggaran di majelis rendah Jepang. Kebijakan agresifnya untuk memerangi deflasi dan menggenjot pertumbuhan telah memperlemah yen.
Foto: REUTERS
Layar televisi menunjukkan PM Abe sedang menghadiri dengar pendapat masalah anggaran di majelis rendah Jepang. Kebijakan agresifnya untuk memerangi deflasi dan menggenjot pertumbuhan telah memperlemah yen.

REPUBLIKA.CO.ID, TOKYO —Jepang dianggap sebagai tokoh antagonis 'drama perang mata uang' yang kian memanas dan dituduh sengaja mendorong nilai yen turun untuk mendongkrak ekonominya yang sedang rapuh.

Tudingan itu, seperti yang dilaporkan Japan Today, Kamis (14/2) muncul dari kekuatan keuangan dunia, yakni negara-negara pengekspor, menjelang pertemuan G20, setelah mereka gagal meyakinkan pasar.

Dalam adu argumen global, Tokyo menolak klaim telah melakukan manipulasi dan berpegang teguh pada mantra bahwa negara sedang melakukan belanja besar dan pelonggaran moneter agresif demi menggenjot ekonomi setelah dua dekade mengalami pertumbuhan lesu dan deflasi.

Terlepas dari retorika pemerintahan baru Shinzo Abe, nilai yen jatuh dalam beberapa bulan terakhir. Kondisi itu memicu kemarahan pejabat di Eropa yang melihatnya sebagai campur tangan pemerintah Jepang yang disengaja untuk menjinakkan penguatan euro dan melindungi eksportir.

Saat debat memanas seputar perang global, di mana negara-negara mulai menggunakan taktik melemahkan mata uang untuk mendapatkan manfaat besar ekspor, Grup Tujuh negara kaya memperingatkan bahwa turbulensi pasar valas akan mencederai stabilitas keuangan dunia.

"Kami memastikan kembali komitmen jangka panjang untuk nilai tukar yang ditentukan pasar dan mendorong langkah konsultasi dalam segala aksi di pasar nilai tukar mata uang," bunyi pernyataan singkat G7.

Anggota G7—Inggris, Prancis, Jerman, Italia, Jepang, AS dan Kanada—menegaskan memastikan kebijakan terbatas terhadal fiskal dan moneter untuk menyesuaikan 'kepentingan domestik' dan tidak menarget 'nilai tukar mata uang." imbuh pernyataan tersebut.

Kanselir Jerman, Angela Merkel, bahkan langsung mengajukan pertanyakan terbuka kepada kebijakan Tokyo. Sementara Prancis menyerukan debat dan aksi nyata demi melindungi ekspor negara-negara di zona euro.

Hanya saja, Kepala Bank Central Eropa, Mario Draghi, sempat melunakkan ketegangan dan menyebut gagasan 'perang mata uang' terlalu berlebihan.

Menanggapi itu, Menteri Keuangan Jepang, Taro Aso, membantah pihak-pihak yang menyebut Tokyo telah bermain-main dengan yen--jenis tuduhan yang berulang kali ditujukan pula kepada Cina dalam manipulasi yuan.

"Tidak benar seperti itu, dan seluruh negara (dalam G7) memahami benar masalah ini," ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement