Kamis 14 Feb 2013 13:07 WIB

Obama: AS Tak Akan Jajah Negara Lain

Barack Obama
Foto: AP Photo/Charles Dharapak
Barack Obama

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Bambang Noroyono

WASHINGTON --  Presiden Amerika Serikat (AS) Barack Obama menegaskan, tak akan melakukan agresi ke negara lain dengan dalih menumpas aksi terorisme. Kelompok Alqaidah yang menyerang Menara Kembar World Trade Center (WTC) pada 9 September 2001 telah dikalahkan dengan terbunuhnya sang pemimpin Usamah bin Ladin.

Namun, meskipun Alqaidah telah ditumpas, kelompok serupa telah muncul di Semenanjung Arab hingga Afrika. Kelompok ekstremis yang berafiliasi dengan Alqaidah itu bahkan terus berkembang dan tetap menjadi ancaman bagi AS.

"Menghadapi ancaman ini, kami tak perlu mengirimkan ribuan putra-putri kami ke luar negeri atau menjajah negara lain," kata Obama saat menyampaikan pidato kenegaraan tahunan di hadapan Kongres AS, Selasa (12/2) malam waktu setempat, seperti dikutip Aljazirah.

Kendati tak akan mengirimkan pasukannya ke negara lain guna menumpas teroris, Obama menegaskan, AS tetap membantu negara-negara seperti Yaman, Libya, dan Somalia untuk memulihkan keamanan di sana. AS juga akan membantu sekutu-sekutunya yang berperang melawan teroris. "Seperti yang terjadi di Mali," kata Obama.

AS tidak mengirimkan pasukan ke Mali menyusul konflik pemerintah dengan kelompok pemberontak. Namun, AS mendukung langkah Prancis yang mengirimkan tentaranya ke negara di Afrika itu untuk membantu Pemerintah Mali merebut kembali wilayahnya.

Negaranya, kata Obama, akan terus memperjuangkan hak-hak warga sipil dan mendukung transisi demokrasi di dunia. Dia menyadari, AS tidak bisa mendikte negara seperti Mesir. AS hanya bisa mendorong pemenuhan hak-hak asasi warganya.

AS juga akan menekan rezim di Suriah yang telah membunuh ribuan warganya serta meminta pemimpin oposisi untuk menghormati hak-hak masyarakat negeri itu. "Kami bersama Israel akan mengejar keamanan dan perdamaian abadi. Inilah pesan-pesan yang akan saya sampaikan ketika berkunjung ke Timur Tengah, bulan depan," ujar Obama.

Pengamat Timur Tengah dari the International Society for Middle East Studies (ISMES) Smith Alhadar menilai, pernyataan Obama itu sebagai wujud menebus kesalahannya pada periode kepresidenan pertama. Saat berpidato di Universitas Al-Azhar, Mesir, Obama ingin melakukan rekonsiliasi dengan dunia Islam. Kebijakan luar negeri AS di Timur Tengah semasa presiden George W Bush membuat pamor AS jatuh setelah menginvasi Irak.

Alasan lain, Obama ingin membatasi anggaran perangnya. "Krisis ekonomi di dalam negeri dan defisit anggaran yang mengancam membuat AS tak siap melakukan agresi," kata Smith.

Akhiri perang

Dalam kesempatan yang sama, Obama mengumumkan perang di Afghanistan akan berakhir menyusul penarikan 34 ribu tentara dari negeri itu sepanjang 22 bulan ke depan. "Pemulangan tentara ini akan terus berlanjut. Pada akhir tahun depan, perang kami di Afghanistan akan berakhir," kata Obama.

Langkah ini akan mengurangi separuh jumlah tentara Negeri Paman Sam itu di Afghanistan. Saat ini, ada sekitar 66 ribu personel militer AS yang berada di Afghanistan. Sebelumnya, AS sudah memulangkan 33 ribu tentara dari negeri yang hampir tak pernah merasakan kedamaian itu.

Pemulangan tentara itu tidak memengaruhi komitmen AS mendorong Afghanistan sebagai negara yang bersatu dan berdaulat. AS tak akan lagi menggunakan militer untuk mendorong misinya tersebut. Saat ini, kata Obama, AS sedang bernegosiasi dengan pemerintahan setempat untuk mewujudkan dua misi, yaitu pelatihan dan pemberian peralatan pasukan Afghanistan serta memerangi terorisme.

Obama berharap, pada masa mendatang pasukan Afghanistan bisa memainkan peran agar negerinya tidak lagi terpeleset dalam kekacauan. Karena itu, AS akan mempersiapkan tentara Afghanistan. Obama akan mengubah peran para tentara yang masih berada di Afghanistan untuk memulai masa transisi. Mulai musim semi tahun ini atau pada Maret mendatang, pasukan AS hanya akan berperan sebagai tentara pendukung, sedangkan pasukan Afghanistan yang memimpin.

Penarikan pasukan dari Afghanistan ini mendapat dukungan dari banyak pihak. Jajak pendapat yang dilakukan Washington Post pada Selasa (12/2) menyebutkan, 80 persen responden sepakat dengan kebijakan Presiden Obama untuk mengakhiri perang di Afghanistan.

Anggota senat dari Partai Demokrat Chris Van Hollen memuji komitmen Obama mengakhiri perang di Afghanistan. "Tentara AS tidak bisa selamanya berada di Afghanistan," kata Hollen seperti dilansir Voice of America.

Namun, anggota senat dari Partai Republik Trent Franks khawatir langkah ini prematur. Menurutnya, target AS bukan hanya meraih kemenangan, melainkan juga meninggalkan suasana aman. "Yang tidak akan menimbulkan aksi terorisme baru dan mengancam kami di masa depan," kata Franks.

Langkah Obama untuk mengakhiri perang terlihat nyata ketika bertemu Presiden Afghanistan Hamid Karzai di Washington, AS, Januari lalu. Saat itu, mereka bersepakat untuk mempercepat transisi militer di Afghanistan. Sebelumnya, masa transisi ini akan dimulai pada medio 2013.

Juru bicara Kementerian Pertahanan Afghanistan Zahir Azimi mengatakan, pasukan nasional negaranya sangat siap untuk mengambil alih tanggung jawab keamanan. "Kami menyambut penarikan dan kami akan selalu mengingat upaya dan pengorbanan mereka," kata Zahir.

Taliban juga menyambut penarikan tentara AS itu dengan mengatakan pemerintahan Barat harus menyelamatkan diri dari perang berlarut-larut dan tidak berguna di Afghanistan. "Jika tidak, kami akan meneruskan dan mengintensifkan jihad suci," sebut pernyataan Taliban.

Keterlibatan AS dalam perang Afghanistan dimulai sejak 2001. Pasukan AS terus didatangkan dalam beberapa tahun terakhir. Pada 2010, terdapat 100 ribu tentara AS di Afghanistan. Namun, keamanan belum juga tercipta di negara itu meski Taliban sudah jatuh dari kekuasaan.

sumber : koran republika

Dapat mengunjungi Baitullah merupakan sebuah kebahagiaan bagi setiap Umat Muslim. Dalam satu tahun terakhir, berapa kali Sobat Republika melaksanakan Umroh?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement