REPUBLIKA.CO.ID,Naval Postgraduate School bukan sekolah biasa. Sekolah itu terselip di tengah pantai indah Kalifornia, dua perjalanan dari San Fransisco. Dibanding unversitas lain di AS, sekolah ini lebih banyak menghasilkan astronot. Setiap tahun, sekolah meluluskan 1.200 siswanya, kebanyakan adalah master di bidangnya. Mereka berasal dari semua komponen militer AS, dan lusinan lainnya adalah warga negara asing.
Ketika kali pertama berdiri di Annapolis pada 1909, sekolah ini bernama School of Marine Engineering at the Naval Academy. Pada 1949, sekolah dipindahkan ke Monterey, dan dua tahun kemudian sekolah berganti nama menjadi Naval Postgraduate School.
Kini, Naval Postgraduate School memiliki empat jurusan, yaitu Graduate School of Business and Public Policy, Graduate School of Engineering and Applied Sciences, Graduate School of Operational and Information Sciences, dan School of International Graduate Studies.
Selain itu, sekolah juga memiliki empat lembaga riset, Moves Institutes for Defence Modeling and Simulation, Wayne E Meyer Institutes of Systems Engineering, Cebrowski Institute for Innovation and Information Superiority, dan National Security Institute. Semuanya lembaga mengerjakan proyek-proyek yang berkaitan dengan AL dan Departemen Pertahanan.
Timothy Chung, asisten profesor Naval Postgraduate School menjelaskan, dirinya bekerja dengan tujuan memerangi UAV di udara. Ia tahu Unicorn bisa diluncurkan dari tangan, tapi sama sekali tidak praktis sehingga dibutuhkan sebuah tim yang berisi 50 pesawat tanpa awak di udara. Alasannya sederhana, baterai Unicorn berusia pendek. Ketika pesawat pertama jauh, pesawat lain akan siap menggantikannya, begitu seterusnya. Seorang siswa menemukan mekanisme peluncuran dengan menggunakan pipa PVC dan kabel bungie yang bisa diatur, yang memungkinkan puluhan UAV dipersipakan dengan cepat untuk terbang.
Defense Advance Research Project Agency (DARPA) sempat mempertanyakan rasio personel yang akan mengoperasikan perangkat ini. Sangat tidak efisien jika satu orang mengendalikan satu UAV, tapi sangat tidak mungkin meminta satu orang mengatasi puluhan UAV. Chung berusaha meminimalkan kebutuhan personel. Ia memilih lima orang, dengan masing-masing menangani 10 UAV. Gagasannya sederhana, yaitu menemukan keseimbangan yang tepat.
Meski demikian, sejauh ini belum ditemukan cara membagi sumber daya. Chung berharap banyak orang tertarik dan ikut mengatasi masalah. Ia yakin, dengan memberi nama Battle Bots pada 50 UAV yang akan diuji, orang akan tertarik membantu.
Mungkin sekolah ini bukan satu-satunya lembaga yang menangani masalah ini di kemudian hari. Chung yakin, siswa Air Force Institute of Technology juga sedang mencoba mencari cara terbaik mengembangkan UAV meski mungkin menggunakan pendekatan berbeda.
Chung membayangkan kelak terjadi dogfight yang melibatkan pesawat robot sesama kawan. Jika itu terjadi, Chung yakin dirinya telah membangun perpustakaan kooperatif yang membuka jalan bagi munculnya pesawat robot di masa depan, menggantikan pesawat berawak yang kian mahal.
“Saya berharap, pada 2015 semua orang akan berkumpul di California Army National Guard di Paso Robles untuk melihat UAV militer siapa yang terbaik,” ujar Chung.
Chung juga menantang sekolah lain yang mengembangkan teknologi ini, memperlihatkan inovasinya. Ia yakin dalam dua tahun ke depan akan muncul pesawat yang bukan hanya tanpa awak, tapi juga otonom. Artinya, bisa mendeteksi lawan dan menembak.