REPUBLIKA.CO.ID,Serangan drone di Pakistan menimbulkan trauma psikologis ribuan penduduk sejumlah desa yang diduga menjadi basis teroris. AS tidak peduli.
Bagi pemerhati militer dan terorisme, kata drone dan kill list mungkin telah akrab di telinga. Namun, terlalu sedikit yang diketahui publik dunia tentang program perang melawan teroris yang dilancarkan Presiden AS Barrack Obama di Pakistan, Yaman, dan Somalia. Perincian kampanye perang terhadap teroris yang dilancarkan Obama tetap diselimuti kerahasiaan. Meski demikian, ada cara untuk memahami apa yang kita ketahui dan tidak kita ketahui tentang inti pendekatan keamanan Obama di negara-negara yang dianggap sarang teroris.
Drone telah menjadi pilihan pemerintah Obama untuk memerangi teroris di luar Irak dan Afghanistan. Namun, drone bukan senjata eksklusif karena militer AS juga melancarkan serangan tradisional, lewat udara dan pengiriman pasukan. Penggunaan drone, atau pesawat tanpa awak, terbukti lebih efektif. Sejak 11 September 2001, drone diperkirakan mampu membunuh 95 persen dari seluruh target. Drone lebih menguntungkan karena tidak menempatkan pasukan AS dalam bahaya.
Laporan pertama tentang penggunaan drone muncul ketika AS menyerang Alqaidah di Yaman pada 2002. Enam tahun kemudian, di bawah pemerintahan Presiden George Bush, AS menggunakan drone dalam serangan rahasia di Pakistan. Di bawah Obama, AS memperluas penggunaan drone di Pakistan dan Yaman sepanjang 2011. Namun, CIA bukan satu-satunya lembaga yang menggunakan pesawat tak berawak ini. Militer AS secara terbuka mengaku telah menggunakan drone di Yaman dan Somalia. Bahkan, serangan ke kedua negara itu dilakukan secara rahasia dan melibatkan Joint Special Operation Command (JSOC).