Selasa 19 Feb 2013 05:31 WIB

Sasaran Drone; Tak Dikenal

Rep: Teguh Setiawan/ Red: M Irwan Ariefyanto
Aksi unjuk rasa menentang penggunaan Drone
Foto: Thetimes
Aksi unjuk rasa menentang penggunaan Drone

REPUBLIKA.CO.ID,Pejabat Pemerintah AS sering sesumbar serangan drone dilakukan terhadap pemimpin Alqaidah yang merencanakan serangan terhadap Paman Sam. Padahal, banyak serangan dilakukan terhadap individu yang tidak dikenal.

Awal 2008, saat AS dipimpin Presiden George Bush, muncul istilah signature strikes untuk menyebut sasaran yang dikenal. Obama memperluasnya. Namun, porsi sebenarnya signature strikes sangat tidak jelas. Pada beberapa kesempatan, CIA menggunakan signature strikes di Pakistan. Yang terjadi adalah munculnya ketegangan antara Gedung Putih dan Departemen Luar Negeri. Muncul lelucon menarik bahwa bagi CIA, tiga orang sedang melompat-lompat akan diidentifikasi sebagai kamp latihan teroris.

Di Yaman, terjadi perdebatan, militan yang mana masuk target serangan AS, mereka yang melawan Washington atau berperang dengan pemerintahnya. Mikha Zenko, seorang pejabat di Dewan Hubungan Luar Negeri, telah lama mengkritik program drone. Menurutnya, AS sebenarnya sedang menjalankan counterinsurgency air force di negara-negara sekutunya.

Terkadang serangan drone terbukti berakibat fatal. Los Angeles Time baru-baru ini menginvestigasi kasus seorang pria Yaman yang tewas oleh serangan pesawat tak berawak dan dampak politik yang menyelimuti kematian pria itu.  Hampir tidak mungkin mengetahui berapa korban sipil akibat serangan drone. New America Foundation hanya bisa mengira-ngira dan menyebut korban sipin antara 261 sampai 305 sepanjang penggunaan drone di Pakistan. Sedangkan, Bureau of Investigative Journalism memperkirakan jumlah korban sipil antara 475 sampai 891.

Semua perhitungan itu jauh lebih besar dibanding klaim pemerintah. Menariknya, klaim pemerintah selalu tidak konsisten. Sedangkan, analis militer tidak berani menyebut angka, dan hanya mengatakan jumlah korban sipil terus menurun secara proporsional dalam beberapa tahun terakhir.

Perkiraan jumlah korban kebanyakan dilakukan koran-koran berdasarkan penafsiran laporan berita. Kebanyakan berita tentang drone bersumber dari pejabat pemerintah yang tak ingin disebut namanya dan kredibilitasnya bervariasi.

Di sisi lain, pemerintah di negara-negara yang mendapat serangan drone cenderung menyembunyikan peran AS dalam serangan yang membunuh warga sipil. Washington Post melaporkan, Pemerintah Yaman sering menyembunyikan keterlibatan Washington dalam serangan yang menimbulkan korban sipil.

Yang lebih konyol, CIA dan militer AS cenderung menganggap pria usia dewasa yang tewas dalam serangan drone sebagai militan. Kepada ProPublica, seorang pejabat AS mengatakan, “Jika sekelompok laki-laki usia dewasa berada di rumah, kami tahu mereka sedang membuat peledak dan merencanakan serangan. Asumsinya, semua pria yang berkumpul itu adalah militan.” Tidak diketahui apakah ada penyelidikan atau verifikasi setelah serangan drone dilancarkan.

Columbia Law School menyimpulkan, perang drone adalah tindakan militer tradisional karena menghambat langkah-langkah akuntabilitas. Yang dilakukan AS selama ini adalah bunuh siapa pun dan beri stigma semua korban sebagai militan.

Akibatnya, menurut sejumlah media AS, terjadi kecemasan dan trauma psikologis di desa-desa, terutama yang dianggap menjadi sarang teroris, di Pakistan. Untuk menghentikan kian banyaknya korban sipil dalam serangan drone, PBB berencana melakukan penyelidikan di wilayah serangan dan mengumpulkan kesaksian korban selamat.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement