Selasa 19 Feb 2013 06:07 WIB

Perang Drone Pelanggaran Hukum Internasional

Rep: Teguh Setiawan/ Red: M Irwan Ariefyanto
Obama dan bayang-bayang Drone
Foto: dawn.com
Obama dan bayang-bayang Drone

REPUBLIKA.CO.ID,Saat berkampanye untuk men jadi presiden kulit hi tam pertama Amerika Se rikat (AS), Barrack Obama berjanji memperbaiki pendekatan Gedung Putih dalam perang melawan teroris. November lalu, Obama berencana meluncurkan drone warfare rulebook yang dikecam aktivis hak asasi manusia. New York Times, mengutip dua sumber yang tak mau disebut nama yang mengatakan, buku panduan yang akan diluncurkan Obama menyusun aturan formal yang membenarkan pembunuhan terhadap target teroris dengan menggunakan drone—pesawat tak berawak.

Pendoman itu, masih menurut sumber itu, harus disusun meski terjadi perselisihan antara CIA dan Departemen Pertahanan, Kepar temen Kehakiman, dan Depar te men Luar Negeri. Keempatnya mempertanyakan apakah serangan mematikan terhadap target teroris dikenal dan tak di kenal adalah sesuatu yang bisa dibe narkan. CIA berkeras merampungkan pedoman ini agar operasi jangka panjang melawan teroris terjamin.

Kelompok-kelompok hak asasi manusia (HAM) dan perdamaian menentang operasi pembunuhan yang dijalankan CIA meski program itu berklasifikasi resmi. Mereka menyebut pemerintahan Obama melanggar hukum internasional, dengan terus melancarkan perang drone.

Jameel Jaffer, direktur American Civil Liberties Union’s (ACLU) Center for Democracy, mengatakan, yang sedang dila kukan pemerintah Obama adalah bukan menuliskan kembali buku panduan perang. “Itu bukan buku panduan, tapi pengingkaran terhadap hukum internasional, dan ini terjadi sejak Perang Dunia II,” ujar Jaffer.

Menurut Jaffer, dirinya frustrasi ketika mendengar kabar Obama akan membuat, atau menuliskan kembali, buku panduan perang agar pembunuhan dengan drone bisa dibenarkan. Rasa frustrasi itu, masih menurut Jeffer, muncul karena dirinya yakin berita itu benar. Berita di New York Times itu ditulis oleh wartawan yang kali pertama membeberkan daftar bunuh (kill list) Gedung Putih, Mei 2012. Kill list adalah sebuah daftar tersangka teroris yang menjadi sasaran pembunuhan dengan menggunakan drone.

ACLU saat ini terlibat dalam perdebatan hukum dengan Pemerintah AS mengenai landasan hukum yang mendasari program pembunuhan tersangka teroris yang kontroversial. Perdebatan menjadi menarik jika serangan drone ditujukan terhadap warga AS dan invididu- individu yang terlanjur masuk ke dalam daftar bunuh.

Jeffer mengatakan, sangat tidak mungkin buku panduan yang sedang ditulis merupakan hasil perdebatan dengan banyak pihak. Ia juga ragu buku itu mengatur soal pembunuhan legal atau ilegal. “Yang membuat frustrasi adalah kami harus menafsirkan istilah-istilah yang digunakan para pejabat,” ujar Jeffer. “Istilah itu dibuat begitu saja, tanpa definisi. Akibatnya, mustahil mengetahui apakah para pejabat pemerintahan Obama membicarakan sesuatu yang legal dan ilegal.”

Ia juga mengatakan, aktivis hak asasi manusia kerap harus menafsirkan sendiri istilah-istilah itu. Itu tak ubahnya menafsirkan bayangan di tembok. Ketika kabar akan terbitnya buku panduan tentang perang drone muncul, analis mengatakan, Obama membutuhkan panduan itu agar kelak, setelah tidak menjadi presiden lagi, tidak dipersalahkan. Ia ingin semua aksi perang melawan teroris terlihat legal karena memiliki prosedur standard yang jelas.

Namun, penulisn standar itu menjadi sangat rumit akibat perdebatan sengit di antara para penasihat militer mengenai apakah akan menjadi upaya terakhir AS menghadapi ancaman atau apakah drone menjadi standar baru untuk perang jangka panjang melawan teroris.

Perdebatan lainnya, apakah perang drone efektif membantu negara-negara se kutu AS mengatasi perkembangan kelom pok militer di wilayahnya. Khusus yang terakhir, jika perang drone menjadi stan dar baru, apakah AS akan selalu terlibat da lam penyerangan teroris di seluruh dunia.

Jeffer mengatakan, dirinya skeptis ten tang pentingnya perdebatan itu. Menurutnya, yang terpenting adalah apakah ada perdebatan tentang lingkup kewenangan pemerintah melakukan pembunuhan atas sasaran yang diduga teroris. “Ada yang lebih penting, yaitu bagai mana pemerintah mendefinisikan kata imminent,” ujarnya.

Pemerintahan Bush, masih menurut Jeffer, tidak membenarkan adanya penyiksaan karena ada defisini dari kata penyiksaan. Jadi, semua orang percaya yang harus dilakukan AS terhadap teroris adalah pembunuhan saat terjadi ancaman. Persoalannya, ketika pemerintah memiliki definisinya sendiri atas kata ‘segera’, sangat tidak mungkin bagi siapa pun untuk mengevaluasi argumen pemerintah. Jika itu dilakukan, yang muncul adalah perdebatan, dan pemerintah merasa punya hak mendefinisikan semua kata yang digunakan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement