REPUBLIKA.CO.ID, DAMASKUS -- Sejak krisis dua tahun silam, angka perceraian di Suriah melonjak hingga 45 persen. Sementara angka pernikahan anjlok lebih dari 40 persen.
Hasil survei media lokal memperkirakan, dalam waktu dekat, orang Suriah yang bercerai akan mengalahkan jumlah yang menikah. Ini karena konflik yang terus berkecamuk antara gerilyawan dan pasukan pemerintah.
Maha, seorang ibu rumah tangga berusia 35 tahun, mengatakan rumah tangganya hancur berantakan saat keluarganya menderita akibat krisis selama 23 bulan.
"Suami saya telah menyulut pertengkaran dengan saya cuma gara-gara masalah sepele. Tampaknya, ia berusaha menggiring saya agar mengajukan gugatan cerai," kata Maha seperti dikutip kantor berita Xinhua.
Ibu tiga anak itu mengatakan sebelumnya semuanya berjalan mulus bersama suaminya. Meski pun sang suami harus bekerja 10 jam sehari untuk menafkahi keluarga.
Namun, lanjutnya, tak lama setelah krisis meletus ekonomi keluarga mulai merosot. Sang suami pun akhirnya kehilangan pekerjaan.
Menurut dia, suaminya sudah berusaha keras untuk mendapat pekerjaan lagi. Namun usaha itu sia-sia dan tak seorang pun dapat membantu mereka sebab krisis mempengaruhi semua orang Suriah.
Survei tersebut juga menunjukkan, sebagian pasangan mengajukan perceraian karena alasan yang tak ada sebelum krisis bergolak.
Misalnya, bercerai hanya karena masalah apakah akan mendukung Presiden Bashar al-Assad atau tidak
Survei tersebut juga mengungkapkan, perkawinan menurun tajam di Suriah. Terutama selama 10 bulan belakangan.
"Saya kira kami berada di puncak keadaan bahwa perkawinan tak lagi menjadi pusat jalan hidup kami dan menata hidup anak-anak kami," kata Ayham, akuntan berusia 35 tahun.
Ia menyatakan rakyat Suriah sekarang lebih suka menunggu sebelum menikah. Ini karena krisis yang berkepanjangan membuat banyak orang tak mampu membiayai rumah tangga atau mendukung nafkah keluarga.