REPUBLIKA.CO.ID, KAIRO -- Presiden Mesir Mohamed Mursi memutuskan diselenggarakannya pemilihan parlemen, pada Kamis (21/2). "Berdasarkan dekrit presiden, pemilihan akan dimulai pada tanggal 27 April dan selesai pada bulan Juni," ujar juru bicara Mursi, Yassir Ali seperti dikutip dari Al Jazeera, Jumat (22/2).
Setiap tahap pemilihan, terdiri dari dua hari untuk pemungutan suara. Dia menyebutkan, proses pemilihan akan berlangsung dalam empat tahap, yaitu 27-28 April, 15-16 Mei, 2-3 dan 19-20 Juni.
Pemungutan suara akan diadakan di berbagai daerah dan dilakukan secara bertahap karena kurangnya pengawas pemilu. Nantinya, parlemen, dewan perwakilan rakyat (DPR) akan melaksanakan sidang pada 6 Juli.
Sebelumnya, pada Senin (18/2) kemarin, Mahkamah Konstitusi (MK) menuntut perubahan lima pasal tentang revisi undang-undang pemilihan. Dewan Syura menerima putusan ini dan mengadopsi undang-undang itu.
Mesir mengalami peningkatan kekerasan, ketidakamanan, dan ketidakstabilan. Hal itu memicu kekacauan politik yang mengganggu negara itu. Pemerintah Mesir berharap, pemilihan parlemen dapat membantu menstabilkan Mesir dari kerusuhan, kekerasan, dan krisis ekonomi.
Selain itu, untuk menstabilkan ekonomi, pemerintah Mesir berusaha meminjam uang sebesar 4,8 miliar dolar Amerika Serikat (AS) ke Dana Moneter Internasional (IMF).
Partai Kebebasan dan Keadilan (FJP) yang beranggotakan gerakan Ikhwanul Muslimin mengatakan, akan berupaya memenangkan kursi lebih banyak pada pemilu parlemen mendatang dibandingkan dalam pemilihan sebelumnya. Saat itu FJP meraih sekitar 40 persen suara.
Analis mengatakan, pihak oposisi kini harus memutuskan apakah akan mengambil bagian dalam pemungutan suara dan mencoba untuk mendapatkan kursi atau memboikot menolak proses legitimasi. "Mereka (oposisi) dihadapkan pada dilema yang nyata," kata pengamat Mesir sekaligus profesor ilmu politik di George Washington University, Nathan Brown.