REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Presiden Venezuela Hugo Chavez meninggal setelah 14 tahun berkuasa, Selasa (5/3) waktu setempat. Kematiannya dinilai akan mengancam ekspor minyak Venezuela.
"Kematian Chavez dapat mengakibatkan periode ketidakstabilan politik dan ketidakpastian di Venezuela. Itu bukan hal baik untuk ekspor minyak," ujar Ahli Energi dan Geopolitik dari Universitas California, Amy Myers Jaffe.
Produksi minyak bumi turun tajam saat kepemimpinan Chavez. Produksi minyak menurun dari sekitar 3,4 juta barel per hari ketika dia terpilih. Setelah menurun bertahun-tahun, Venezuela hanya memompa 2,34 juta barel per hari bulan lalu.
Pemerintah Venezuela memperkirakan produksi minyak lebih tinggi, sekitar tiga juta barel per hari. Namun, mereka dikucilkan di kalangan industri minyak.
Di tengah penurunan kilang, Venezuela juga mengimpor produk bahan bakar dari Amerika Serikat. Padahal, AS yang menjadi salah satu pembeli ekspor minyak Venezuela.
Harga minyak naik sedikit yakni sekitar 30 sen per barel dalam satu jam setelah pengumuman kematian Chavez selama malam.
Menurut Jaffe, industri minyak Venezuella mundur selama era Chavez. Padahal Venezuela sangat tergantung pada pendapatan minyak. "Apa pun yang terjadi ke depan, tidak akan ada pemimpin kharistamtik seperti Chaves. Karena itu, mereka harus serius membangun industri minyak," ujarnya.
Pemimpin IHS bagian energi, Daniel Yergien mengatakan Chavez meninggalkan ekonomi yang lemah. Karena intervensi anggaran, inflasi, dan kekurangan likuiditas.
"Tanpa kharismanya dan karakter yang kuat, ini tidak jelas bagaimana pengganti Chavez dapat mempertahankan sistem yang dia ciptakan," ujarnya.