REPUBLIKA.CO.ID, BAGHDAD -- Serbuan Amerika Serikat ke Irak untuk mengabadikan demokrasi liberal menghasilkan kekerasan aliran dan perselisihan politik tak berkesudahan.
Saat Amerika menyatakan akan memusnahkan senjata pemusnah milik mendiang Presiden Irak Saddam Hussein, termasuk menggulingkan kekuasaannya, persoalan demi persoalan pun muncul di kawasan Timur Tengah.
Sejumlah diplomat dan analisa dari Amerika Serikat menilai agresi AS ke Irak sebenarnya hanyalah untuk mencari sumber minyak yang memang berlimpah di kawasan tersebut.
Sejak kepergian pasukan Amerika Serikat pada akhir 2011, Washington tetap fokus di wilayah tersebut dengan mencoba masuk ke ranah politik dan ideologi.
"Ada alasan dibuat-buat, yakni senjata pemusnah, kaitan dengan Alqaidah, dan ancaman keamanan Amerika Serikat," kata Crispin Hawes, direktur Timur Tengah dan Afrika Utara kelompok penasehat Eurasia Group, yang berpusat di London. "Hal itu terlihat menggelikan sekarang," katanya menambahkan.
Ada alasan mendasar di mana Irak tidak hanya akan menjadi sekutu Amerika Serikat. Alasan pemulihan cepat perekonomian Irak yang selalu diutarakan AS sebenarnya hanya mengamankan bisnis minyak AS di kawasan ini.
Meskipun perangnya relatif singkat -dimulai pada 19 Maret 2003, Baghdad jatuh pada 9 April, dan Presiden Amerika Serikat George W Bush menyatakan tugas selesai pada 1 Mei-, kawasan ini menjadi kawasan berdarah.
Anti-Amerika Serikat menyebar di kawasan ini, dan beberapa warga yang muak dengan AS melakukan serangan-serangan ke pusat industri yang dikuasai AS. Belum lagi soal sentimen Sunni dan Syiah yang sebelumnya tak pernah terdengar, belakangan ini semakin meruncing.
Sejak serbuan itu, setidak-tidaknya 110 ribu warga Irak, beberapa ribu polisi dan tentara, serta 4.800 tentara asing -sebagian besar dari mereka asal Amerika Serikat- tewas. Entah bagaimana lagi nasib Irak di masa depan