REPUBLIKA.CO.ID, PHNOM PENH -- Aksi pembantaian massal kelompok komunis radikal Kamboja, Khmer Merah, yang menewaskan sekitar 1,7 juta jiwa sekitar 40 tahun lalu belum berhasil menjerat para pelakunya dengan hukum. Faktor usia menjadi penghalangnya.
Ieng Sary sudah mencapai usia 87 tahun saat berbaring di RS Pnom Penh karena serangan jantung. Mantan menteri luar negeri era kejayaan kelompok komunis medio tahun 1975-1979 ini ternyata ditakdirkan meninggal pada Kamis (14/3) lalu.
Kematian Ieng Sary, jelas Ketua Pusat HAM Kamboja Ou Virak, menurutnya, suatu hal yang wajar. Dia meminta pemerintah dan PBB segera menggunakan anggaran yang telah tersedia untuk menangani eks Khmer Merah yang masih bertahan hidup. "Jika mereka mati duluan sebelum mengakui dosa-dosanya, masyarakat Kamboja akan merasa terampas rasa keadilannya,” ujar Virak.
Tinggallah pentolan Khmer lainnya seperti eks kepala wilayah Khieu Samphan (81 tahun) dan mantan pendidik ideologi komunis Nuon Chea (86 tahun) yang masih hidup.
Pengadilan HAM di Kamboja sebenarnya telah berproses sejak 10 tahun lalu. Bahkan persidangan pertama dilakukan pada tahun 2006. Anggaran yang dikucurkan sekitar 150 juta dollar AS. Terdakwanya tunggal, yakni komandan kamp penyiksaan S-21, Kaing Guek Eav alias Duch.
Duch dihukum pada tahun 2010 selama 35 tahun atas dakwaan kejahatan perang dan kejahatan kemanusiaan. Hukuman ini dikurangi menjadi 19 tahun karena alasan teknis. Pihak keluarga korban Khmer Merah pun protes. Pemerintah Kamboja tidak berkutik atas putusan tadi. Tentu saja, tanggung jawab kini beralih ke pemerintah Kamboja yang dipimpin Hun Sen.