Kamis 21 Mar 2013 01:15 WIB

Vladimir Putin: Jilbab Tradisi Alien

Rep: Bambang Noroyono/ Red: Karta Raharja Ucu
Vladimir Putin
Foto: REUTERS
Vladimir Putin

REPUBLIKA.CO.ID, MOSKOW -- Perdana Menteri Rusia, Vladimir Putin menyatakan sejarah Negeri Beruang Merah itu tidak mengenal tradisi Islam. Karenanya, Pemerintah Rusia melarang penggunaan jilbab.

"Tidak ada budaya jilbab dalam sejarah kami," kata Putin seperti dinukil dari the New York Times.

Putin mengutip fatwa beberapa tokoh Muslim moderat internasional yang menganggap jilbab adalah sesuatu yang tidak wajib. "Apakah kita mengadopsi tradisi alien itu," sebut Putin.

Rusia memandang jilbab sebagai bentuk konfrontasi yang menimbulkan ketegangan antarkelompok agama. Larangan itu, diakui menjadi jalan untuk meredakan konflik.

Pemerintah bermaksud menyudahi konflik dari kelompok Muslim dengan berdamai. Namun larangan itu keliru, karena jilbab adalah simbol keagamanaan, bukan afiliasi politik atau bentuk dukungan kepada kelompok tertentu.

Salah satu keluarga Muslim yang menjadi korban larangan itu adalah keluarga Ali Salikhov. Putrinya, Raifat (15 tahun) harus dikeluarkan dari sekolahnya lantaran enggan melepas jilbab.

Salikov meyakini tidak pernah ada perselisihan antaragama selama ia tinggal di Desa Kara-Tyube. Salikov menilai, larangan jilbab itu adalah pengusiran.

Keluarga Salikov berasal dari etnis Nagoy, salah satu etnis dari Chechnya yang bermigrasi ke Kaukasus Utara sejak lama masa Uni Soviet. Permusuhan antaragama malah mulai tampak setelah aturan kepala sekolah tempat putrinya menimba ilmu keluar pada tahun lalu.

Anaknya menjadi korban kesemena-menaan kelompok pemuda. Mereka mulai mengganggu remaja putrinya. Perilaku diskriminatif juga dialami anak-anaknya.

Bus sekolah yang biasa ditumpanginya tidak lagi menjemputnya. Raifat terpaksa menelusuri salju dan berjalan beberapa mil untuk bersekolah.

"Jika mereka pikir ini karena jilbab. Aku akan meninggalkan agamaku," sebut Salikov geram.

Bagi Salikov, persoalan sekolah di wilayah tetangga bukanlah yang terpenting. Kesedihan anak-anaknya itu adalah keterpaksaan. Tidak bersekolah di desa sendiri tidak menjadi masalah. Di Dagestan kelompok mayoritas akan melindungi anak-anaknya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement