Oleh Ferry Kisihandi
REPUBLIKA.CO.ID, Hidup keluarga Ali Salikhov mendadak nelangsa. Pejabat lokal Stavropol, wilayah perbatasan Rusia dengan Dagestan, menerapkan larangan berjilbab. Khususnya, untuk lembaga milik pemerintah macam sekolah.
Putrinya yang berjilbab, Raifat, turut mendapatkan imbasnya. Demi mempertahankan jilbab putrinya, Salikhov pun mengirim Raifat ke Dagestan.
Remaja itu tak kuasa menahan air mata karena harus meninggalkan tanah yang dicinta. Sepupu Raifat, Amina (10 tahun) memilih cara lain. Orangtuanya mengundang guru privat ke rumah. Sedangkan adik Amina belajar dengan mandiri. Saban pagi, mereka duduk tenang di kursi dapur untuk belajar mewarnai.
Cobaan bagi Muslim di wilayah pinggiran Rusia ini berasal dari sikap keras seorang guru, Marina Savchenko. Dia menolak mengizinkan siswi berjilbab masuk kelas.
Tak disangka, sikap kepala batu Marina sepaham dengan pemerintah lokal. Pejabat setempat membuat aturan berseragam yang tak memungkinkan Muslimah menutup aurat.
Pembatasan ini berdampak pada 10 persen Muslim dari 2,7 juta jiwa yang tinggal di Rusia. Meski begitu, Muslim berupaya melawan. Pada Kamis (21/3) ini, perdebatan soal jilbab pun dibawa ke persidangan.
Desember lalu, Presiden Rusia Vladimir Putin memang menyatakan penolakannya terhadap jilbab."Tak ada hijab dalam kebudayaan kita. Ketika saya katakan kita, maksudnya Islam tradisional,"ujarnya.
Menurutnya, sejumlah sejahrawan Rusia mendukung teori itu. Jadi, tuturnya, tak mungkin bagi Rusia mengadopsi 'tradisi asing' itu.
Di tengah pergolakan, Salikhov tetap berpegang teguh pada pendiriannya. Dia menegaskan tak akan menyerah dengan larangan pemerintah.
"Jika mereka pikir karena sesuatu yang terjadi pada anak perempuan saya membuat saya akan melupakan agama ini, saya katakan tidak. Agama adalah tujuan hidup saya,"ujarnya, seperti dikutip New York Times.