Selasa 26 Mar 2013 21:08 WIB

Krisis Afrika Tengah Berlanjut

Rep: Indah Wulandari / Red: M Irwan Ariefyanto
Kelompok organisasi rakyat adi Republik Afrika Tengah berunjuk rasa di Bangui, meminta Prancis mengatasi pemberontakan di sana.
Foto: reuters.com
Kelompok organisasi rakyat adi Republik Afrika Tengah berunjuk rasa di Bangui, meminta Prancis mengatasi pemberontakan di sana.

REPUBLIKA.CO.ID,BANGUI—Pemimpin pemberontak Seleka bersedia mematuhi perjanjian damai untuk menghindari kritikan pada kudeta yang dilakukan terhadap pemerintahan Republik Afrika Tengah. Namun kelompok pemberontak lainnya tidak mengakui kepemipinan presiden dari Seleka.

"Saya akan memimpin rakyat Republik Afrika Tengah selama masa transisi tiga tahun sesuai Perjanjian Libreville," pemimpin pemberontak Seleka Michel Djotodia, Senin (25/3) seperti dikutip AP dari rekaman yang dirilis. Djotodia pun langsung menunjuk dirinya sebagai presiden paska kaburnya presiden resmi, Francois Bozize pada Ahad lalu ke Kamerun.

Perjanjian damai yang dimaksudnya ditandatangani pada Januari lalu di Libreville, ibukota Gabon. Perjanjian ditandatangani setelah meletus kerusuhan di Bangui medio Desember lalu antara loyalis Bozize, pemberontak, dan oposisi sipil. Djotodia kemudian menjanjikan posisi perdana menteri buat wakil oposisi sipil, Nicolas Tiangaye.

Dewan Keamanan PBB turut memanggil seluruh kelompok di Afrika Tengah agar menghindari kekerasan serta mematuhi hukum dan mengimplementasikan Perjanjian Libreville. Mereka akan terus memantau situasi dan siap mengambil keputusan dalam kondisi darurat.

Di hari ketiga, sekitar 600 ribu penduduknya belum disuplai listrik dan air. Apalagi beberapa kantor, gedung pemerintahan, dan pusat bisnis masih dalam cengkraman pemberontak serta kelompok sipil. "Pelayanan masyarakat menjadi masalah terbesar saar ini. Pemimpin Seleka mengontrol anggotanya. Presiden meminta kita untuk mengembalikan kondisi agar tenang,” cetus komandan pasukan perdamaian di Afrika, Jenderal Jean Felix Akaga. Dia memastikan, para pemberontak bertahap dimasukkan ke barak-barak sejak Senin kemarin.

Pihak militer Prancis ikut menangani pemulihan Afrika Tengah. Setidaknya ada 250 tentaranya bersiaga sebelum kudeta meletus. Kini negara pimpinan Francois Hollande ini mengirimkan lagi 300 pasukan. Mereka dibantu sekitar 400 pasukan Afrika Selatan yang ikut menyisir jalan-jalan.

Presiden Afsel Jacob Zuma menyebutkan, dalam kudeta kemarin terdapat 13 prajuritnya gugur dan 27 lainnya terluka. Angka ini terbanyak setelah peristiwa apartheid di Pretoria medio 1994.

“Ini peristiwa menyedihkan bagi negara kita. Aksi para bandit ini tidak mengurangi tanggung jawab kita untuk menjaga perdamaian dan stabilitas di Afrika,” tegas Zuma.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement