REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Teguh Setiawan/ Wartawan Senior Republika
Pekan lalu, pers AS ramai-ramai menurunkan tulisan mengenai 10 tahun invasi Paman Sam ke Irak untuk menggulingkan Presiden Saddam Hussein. Di Irak, sebuah bom yang ditanam Alqaidah di Irak (AQI) meledak, menewaskan 65 orang dan melukai 200.
Pers AS tidak sedang merayakan sukses negaranya memenangkan perang di Irak, tapi cuci tangan atas ulah mereka menabuh genderang perang dan membentuk opini publik untuk mendukung kebijakan Washington menginvasi Irak. Pers pula yang menjadi agen penyebar kebohongan Presiden George W Bush tentang adanya senjata pemusnah massal yang ditimbun Saddam Hussein.
Di Irak, AQI seolah ingin memperlihatkan kepada dunia bahwa hasil invasi AS ke Irak adalah meletusnya konflik sektarian antara Sunni dan Syiah, serta antara pemukim Arab dan Kurdi. Bahwa, AS telah gagal membangun infrastruktur negara demokratis pascakejatuhan Saddam Hussein.
Kabar terakhir, yang mungkin lebih menarik, adalah kunjungan Menlu AS John Kerry ke Baghdad. Ini bukan kunjungan bangsa penakluk ke negara taklukan, tapi kunjungan yang menegaskan kegagalan sang penakluk menciptakan republik boneka.
Kerry, dalam kunjungan itu, meminta Nouri al-Maliki, perdana menteri Irak dari faksi Syiah sekuler, untuk tidak menjadikan wilayahnya sebagai wilayah terbang pesawat-pesawat Iran yang membantu Pemerintah Suriah menghadapi pemberontak. Sebelum pertemuan dengan PM al-Maliki, Kerry juga sempat mengatakan, perilaku Irak selama ini menjadi masalah serius bagi upaya AS menggulingkan Bassar al-Assad. Irak, katanya, tidak bertindak sebagai partner.
Bukan Maret 2003
Banyak kontroversi sekitar invasi AS ke Irak. Pers AS selalu menulis invasi dilakukan pada Maret 2003. Namun, Michael Smith, wartawan Inggris yang menulis artikel berdasarkan memo Downing Street, mengatakan, George W Bush dan PM Inggris Tony Blair memulai perangnya di Inggris tidak pada Maret 2003, tapi pada akhir Agustus 2002, enam pekan sebelum Kongres AS menyetujui tindakan militer terhadap Irak.
Memo berasal dari pertemuan kabinet perang Blair pada 23 Juli 2002. Saat itu, Sir Richard Dearlove, kepala intelejen luar negeri Inggris, membuat pernyataan bahwa Inggris sedang memperbaiki data intelijen sebelum terjun ke perang di Irak. Dalam memo itu terdapat kutipan Menhan Inggris Geoff Hoon bahwa “AS sudah meningkatkan aktivitasnya untuk menekan rezim di Irak.”
Menurut Smith, Inggris dan AS bermaksud memprovokasi Irak. Jika Irak merespons provokasi dengan melancarkan serangan ke pasukan AS yang ditempatkan di perbatasan Irak-Kuwait, AS dan Inggris bisa menjadikan respons Saddam Hussein untuk memulai perang. Dalam kamus perang, semua ini disebut cassus belli.
Bahkan, masih menurut Smith, Inggris telah melakukan pengeboman di selatan Irak pada Mei 2002, dengan jumlah bom yang dijatuhkan 10 ton. Sedangkan ‘special spike’ dimulai Agustus, dengan jumlah bom yang dijatuhkan lebih banyak lagi. Pada September 2002 saja, demikian Smith, jumlah bom Inggris yang dijatuhkan di selatan Irak mencapai 54,6 ton.
Inggris dan AS mengatakan, pengeboman dilakukan sebagai tindakan pengamanan atas pesawat-pesawat mereka di zona larangan terbang. Irak mengajukan protes ke PBB tapi tidak terperangkap ke dalam jebakan. Saddam Hussein tahu apa yang sedang dilakukan Inggris dan AS, dan tidak melakukan pembalasan.
Situasi ini memaksa AS dan Inggris mencari pembenaran lain. Segalanya harus tersedia dalam waktu cepat karena perang melawan Irak, dalam bahasa George W Bush, sangat mendesak dan penting.
Setidaknya ada dua nama yang berperan penting dalam situasi ini; Achmad Chalabi, pembangkang nomor wahid Irak, dan Bernard Lewis, sejarawan Yahudi yang memicu Islamofobia di Eropa dan godfather kelompok neo-conservatif di Washington.
Chalabi memberikan data intelejen tentang 30 situs penimbunan senjata kimia, biologis, dan pemusnah massal milik Saddam Hussein. Ia juga berceloteh tentang adanya program nuklir Irak. Lewis meyakinkan pentingnya perang ini agar AS bisa mengontrol sumur-sumur minyak di dunia Islam.
Tidak ingin berlama-lama lagi menginvasi Irak, Blair dan Bush menggunakan data Chalabi sebagai pembenar. Pers di seluruh dunia terus memberitakan alasan Paman Sam dan Inggris sampai terbentuk ‘kebenaran’ yang diterima secara umum.
Noam Chomsky, kritikus kebijakan luar negeri AS dalam It’s Imperialism, Stupid, menulis, invasi ke Irak bukan sekadar perang melawan teror. Ia yakin Inggris dan AS telah merencanakan perang ini sedemikian lama agar bisa mengontrol sumber minyak dunia.
Diabaikan
Chomsky juga memaparkan sebuah laporan rahasia dari National Intelligence Council (NIC), pusat komunitas intelijen untuk pemikiran strategis. Dalam laporan yang dibuat pada malam invasi itu, NIC meramalkan invasi AS hanya akan meningkatkan dukungan bagi Islam politik dan menghasilkan masyarakat Irak yang terpecah-pecah, serta rentah terhadap konflik internal.
Douglas Jehl dan David E Sanger dari New York Times mengutip laporan NIC secara lebih terperinci. Menurut NIC, Irak kemungkinan akan menjadi ladang pembibitan teroris. Lebih dari itu, menurut NIC, teroris yang dihasilkan dari invasi AS ke Irak lebih profesional dan memiliki kemampuan berbahasa Inggris jauh lebih baik.
Chomsky yakin prioritas lain, yang tentunya lebih tinggi, membuat para perencana perang di Washington mengabaikan laporan rahasia ini. Terdapat kesan, Bush dan Blair lebih suka mengambil risiko akan meningkatnya terorisme, demi penguasaan ladang minyak.
Abdulrahman Al-Rashed dari Al Arabiya menulis, yang juga dilupakan AS saat menginvasi Irak adalah tidak memahami sikap Suriah dan Iran, serta keengganan negara-negara Teluk mendukung kebijakan penggulingan Saddam Hussein. Suriah, yang bekerja sama atas nama Iran, memperlihatkan dukungan terhadap tindakan AS di Irak. Namun, sejak Saddam Hussein jatuh, Suriah dan Iran menjadi pengendali situasi perang di Irak, berkat pengaruh kedua negara di kelompok Syiah.
Iran membentuk kelompok-kelompok perlawanan terhadap pendudukan AS di Irak. Suriah, berkat kemampuannya menjaga perbatasan kedua dengan tenang, menyalurkan senjata ke orang-orang Syiah di Baghdad. Di sisi lain, Alqaidah membuka franchise-nya di Irak, dengan tujuan memerangi Syiah dan AS. AQI melihat invasi AS sebagai hasil rekayasa pembangkang Syiah, yang bertujuan menggulingkan Saddam Hussein.
Pada akhirnya, dunia menyaksikan invasi Paman Sam menghasilkan dua hal; nyaris membangkrutkan AS dan menghancurkan Irak. Jika ada yang diuntungkan dari perang ini mungkin hanya perusahaan-perusahaan minyak, seperti ExxonMobil, Chevron, Shell, dan Halliburton.
Halliburton adalah perusahaan milik Dick Cheney, wapres AS saat itu. Mereka menguasai sumur-sumur minyak tanpa perlu mengikuti tender, membawa pulang hasilnya, seraya meninggalkan sekian juta rakyat Irak tanpa listrik dan air. Lebih 80 persen minyak Irak diekspor perusahaan asing, yang bekerja sama dengan kedutaan AS di Baghdad.
Entah bagaimana sejarah dunia akan mencatat peristiwa invasi AS dan Inggris ke Irak. Yang pasti, kedua negara, serta beberapa penyokongnya, tidak ubahnya bajak laut yang menjarah suatu negara, lalu meninggalkannya dalam keadaan compang-camping.