Selasa 09 Apr 2013 07:11 WIB

Kerusuhan Meikhtila, Saat Muslim Dibantai

 Relawan membawa kantong mayat, yang berisi jenazah korban kebakaran sebuah masjid di Yangon, Myanmar, Selasa,Selasa (2/4). (AP/Gemunu Amarasinghe)
Relawan membawa kantong mayat, yang berisi jenazah korban kebakaran sebuah masjid di Yangon, Myanmar, Selasa,Selasa (2/4). (AP/Gemunu Amarasinghe)

REPUBLIKA.CO.ID, Seorang Pendeta Buddha mencengkeram tangan gadis muslim dan menaruh pisau di lehernya. "Kalau anda mengikuti kami, saya bunuh dia," kata pendeta tersebut mengancam polisi.

Berdasarkan keterangan saksi mata, massa dari pihak Buddha dipersenjatai dengan pedang dan parang mengejar 100 muslim di kota di Myanmar tengah.

Kamis (21/3) itu, hanya dalam beberapa jam, terdapat 25 muslim dibunuh. Pendeta Buddha menyeret tubuh mereka yang penuh darah di sebuah bukit di tetangga, disebut Mingalarzay Yone. Mereka menyusun mayat-mayat itu di api. Beberapa tampak sudah disembelih.

Juru kamera Reuters melihat mayat tersebut termasuk jenazah  dua anak, berusia sekitar sepuluh tahun atau lebih muda. Pembantaian itu diamini oleh coretan-coretan cat di sekitar Meikhtila. Bahkan, terdapat satu grafiti di tembok bertajuk 'Pemusnahan Muslim'. 

Kebencian etnis sudah timbul di Myanmar sejak 49 tahun militer berkuasa yang berakhir pada Maret 2011. Kebencian itu pun menyebar, mengancam negara ketika transisi demokrasi tengah berjalan. Gejala tersebut sudah tampak pada adanya pembersihan etnik dan ketidakberdayaan untuk menanganinya.

Dalam empat hari, setidaknya 43 orang tewas di Meikhtila. Terletak 80 mil di utara ibu kota provinsi, Naypytaw. Sedikitnya 13 ribu warga beragama muslim mengungsi dari rumah dan usaha mereka. 

Pertempuran berdarah diikuti oleh massa Buddha. Kerusuhan meluas. Terdapat 14 desa lain di Myanmar tengah dan membuat minoritas muslim berada dalam batas penyeberangan negara di asia dengan etnik yang paling berbeda.

Sebuah eksaminasi dari kerusuhan tersebut berdasarkan wawancara dengan 30 saksi mata, menyebabkan pembantaian 25 muslim di meikhtila dipimpin oleh pendeta Buddha -seringkali dibuat sebagai ikon demokrasi di Myanmar.

Pembunuhan itu terpantau oleh polisi dengan tingkah polos. Pemerintah lokal setempat juga enggan mengintervensi.Kerusuhan yang terjadi di kota lain hanya beberapa jam dari kota Yangon juga diorganisir. 

Polisi bersekongkol dengan mata tertutup. Usai pembunuhan Maret, pejabat setempat hanya melakukan upaya sedikit untuk menghentikan kerusuhan yang terus memanas hingga tiga hari kemudian.

Dia menyerahkan kendali kota kepada Pendeta Buddha radikal yang memblokade truk terbakar, mengintimidasi pekerja yang selamat dan memimpin amuk lingkungan.

Menurut laporan Reuters, pihak Buddha mungkin menjadi pemicu kerusuhan. Akan tetapi orang pertama yang tewas adalah seorang pendeta di tangan muslim. 

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement