REPUBLIKA.CO.ID, Dua bulan lalu di Minhla. Kota yang ditempati 100 ribu orang itu, 2.000 umat Buddha berdesakan di pusat kota, 26-27 Februari lalu.
Mereka hendak mendengar wejangan Wimalar Biwuntha, kepala biara dari Mon. Dia menjelaskan, bagaimana biksu di wilayahnya mulai menggunakan boikot kepada perusahaan bus orang Muslim.
Setelah pidato tersebut, suasana di Minhla menjadi gila. Seorang pemilik toko teh Muslim bernama Tun Tun (26 tahun) menyaksikan, bagaimana Muslim dicemooh.
Sebulan kemudian, sekitar 800 umat Buddha bersenjata dengan pipa metal dan palu menghancurkan tiga masjid dan 17 rumah Muslim juga tempat usaha. Menurut polisi, tidak ada yang terbunuh. Akan tetapi, dua pertiga dari Muslim di Minhla melarikan diri dan belum kembali.
"Sejak pidato itu, warga di desa kami menjadi lebih agresif. Mereka bersumpah melawan kami hingga kami kehilangan konsumen," ucap Tun Tun. Toko Tun Tun pun hampir hancur akibat serangan warga pada 27 Maret lalu. Seorang penyerang bahkan membawa gergaji.
Tun Tun hanya satu dari korban kecemburuan sosial di Myanmar. Laporan Reuters menunjukkan, konflik antarumat beragama terbesar di Asia Tenggara itu juga disebabkan oleh faktor ekonomi.
Di salah satu negara termiskin di Asia, kaum Muslim Meikhtila dan bagian lain dari pusat Myanmar umumnya lebih makmur daripada tetangga Buddha mereka. Total populasi kaum Muslim Myanmar mencapai 5 persen. Di Meikhtila, mereka berjumlah sepertiga dari populasi.
Mereka memiliki real estate, toko elektronik, toko-toko pakaian, restoran, dan diler sepeda motor. Penghasilan mencolok lebih dari kota mayoritas Buddha, yang bekerja keras sebagian besar sebagai buruh dan pedagang kaki lima.