Kamis 11 Apr 2013 06:13 WIB

Georgia Selidiki Kekalahan Perang dengan Rusia pada 2008

perang Rusia-Georgia atau Perang Ossetia Selatan pada 2008
Foto: www.despiteborders.com
perang Rusia-Georgia atau Perang Ossetia Selatan pada 2008

REPUBLIKA.CO.ID, TBILISI -- Perdana Menteri (PM) Georgia, Bidzina Ivanishvili, mengatakan negaranya akan menyelidiki lagi kekalahan perang dengan Rusia pada 2008 untuk mengetahui apakah Presiden Mikheil Saakashvili termasuk orang yang perlu disalahkan.

Ivanishvili, seorang milyarder yang menjadi perdana menteri setelah koalisi oposisinya mengalahkan partai berkuasa Saakashvili pada Oktober, berusaha memastikan supremasinya atas presiden, yang menyulut pergolakan kekuasaan yang janggal.

Dalam kecaman tersengitnya terhadap saingannya itu, Ivanishvili menuduh presiden salah menangani persiapan menjelang perang.

"Saya juga berpendapat pemerintah kami yang dipimpin presiden bertindak secara tidak memadai dalam situasi itu," kata Ivanishvili pada jumpa pers, Rabu (10/4).

"Saya menganggap tidak bisa dibenarkan sama sekali satuan-satuan militer disiagakan dan tindakan militer mulai dilakukan sebelum Rusia menyeberangi perbatasan kami," katanya.

Sebuah laporan independen yang dibentuk Uni Eropa pada 2009 menyalahkan Georgia karena memulai perang dengan Rusia namun mengatakan, tanggapan militer Moskow melampaui batas-batas yang beralasan dan melanggar hukum internasional.

Laporan itu menyebut kedua pihak melanggar hukum kemanusiaan internasional dan menemukan bukti mengenai pembersihan etnik terhadap warga keturunan Georgia di provinsi separatis Ossetia Selatan.

Saakashvili mengatakan, Georgia menanggapi invasi pasukan Rusia ketika mereka menyerang wilayah Ossetia Selatan. Lebih dari 100 ribu warga sipil di kedua pihak mengungsi pada puncak konflik itu dan beberapa dari mereka tidak bisa kembali.

Pasukan Rusia memasuki Georgia untuk mematahkan upaya militer Georgia menguasai lagi Ossetia Selatan pada 7-8 Agustus 2008. Perang lima hari pada Agustus itu meletus ketika Tbilisi berusaha memulihkan kekuasannya dengan kekuatan militer di kawasan Ossetia Selatan yang memisahkan diri dari Georgia pada 1992, setelah runtuhnya Uni Sovyet.

Georgia dan Rusia tetap berselisih setelah perang singkat antara mereka pada 2008. Ossetia Selatan dan Abkhazia memisahkan diri dari Georgia pada awal 1990-an. Kedua wilayah separatis itu bergantung hampir sepenuhnya pada Rusia atas bantuan finansial, militer dan diplomatik.

Georgia tetap mengklaim kedaulatan atas kedua wilayah tersebut dan mendapat dukungan dari Barat.

Pengakuan Moskow atas kemerdekaan kedua wilayah itu menyulut kecaman dari Georgia dan banyak negara Barat.

Rusia meresmikan pengakuannya atas kemerdekaan kedua wilayah Georgia yang memisahkan diri itu, Ossetia Selatan dan Abkhazia, pada 16 Januari 2009 ketika Presiden Dmitry Medvedev menerima duta-duta besar pertama mereka yang bersanding sejajar dengan para duta besar dari negara anggota NATO.

Nikaragua adalah negara pertama setelah Rusia yang memberikan "pengakuan penuh" kepada republik-republik Abkhazia dan Ossetia Selatan sebagai "anggota baru komunitas negara merdeka dunia".

Venezuela pada 10 September 2009 juga memberikan pengakuan penuh atas kemerdekaan kedua wilayah separatis Georgia itu. Nauru, sebuah negara pulau kecil di kawasan Pasifik, mengikuti jejak Rusia mengakui kedua repubik itu sebagai negara-negara merdeka.

sumber : Antara/ AFP
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement