Kamis 18 Apr 2013 15:50 WIB

Warga Amerika Lebih Cemas Serangan Ngawur Ketimbang Teroris

Seorang petugas PMK merawat korban terluka ringan dalam ledakan bom dekat garis finis Maraton Boston 2013 pada Senin (15/4/2013)
Foto: AP PHOTO
Seorang petugas PMK merawat korban terluka ringan dalam ledakan bom dekat garis finis Maraton Boston 2013 pada Senin (15/4/2013)

REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Bagi warga Amerika Serikat, ancaman terbesar bagi keamanan umum berasal dari tindakan membabi-buta warga AS ketimbang teroris asing.

Kesimpulan itu didapat dari jajak pendapat yang dilakukan Reuters/Ipsos selama dua hari pascapengeboman Boston. Dalam jajak pendapat itu didapatkan kesimpulan, warga Amerika telah menjadi lebih waspada, setelah terjadi serangan beruntun sejak Juli di gedung bioskop Colorado, kuil Sikh di Wisconsin dan sekolah dasar Connecticut dan terakhir di ajang Boston Marathon.

Ketika menjawab pertanyaan tentang, mana ancaman yang paling besar bagi warga AS secara umum, 56 responden menjawab kekerasan membabi-buta, seperti tembakan massal yang dilakukan orang Amerika. Sebanyak 32 persen responden menjawab serangan teroris asing, sedangan 13 persen mengatakan kekerasan terkait masalah politik atau kekerasan dengan alasan keagamaan warga Amerika.

"Hampir dua per tiga responden mengatakan, mereka yakin peristiwa seperti di Boston Marathon itu dapat terjadi di wilayah mereka. Sekelompok kecil responden, 42 persen menjawab peristiwa Boston meningkatkan kecemasan akan keselamatan diri sendiri dan keluarga mereka," bunyi laporan jajak pendapat itu, seperti dinukil dari Reuters.

Dua bom meledak di dekat garis finis lomba lari maraton di Boston akhir pekan lalu. Tiga orang korban meninggal dunia, 176 cedera dan 10 orang terpaksa diamputasi kaki mereka dalam peristiwa Boston. Pengeboman itu adalah serangan terburuk di bumi para koboi itu sejak peledakan bom dalam pesawat yang menabrak gedung pencakar langit di New York pada 11 September 2001.

Lebih dari setengah responden mengaku cemas jika pengeboman seperti di Boston itu akan mengarah pada pelanggaran atas hak-hak sebagai warga AS. Jajak pendapat itu diselenggarakan secara 'online' pada 16 dan 17 April dan diikuti 520 responden. Keabsahan jajak pendapat tersebut diukur dengan menggunakan interval kredibilitas dan akurasi antara 4,9 persen.

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement