REPUBLIKA.CO.ID, KUALA LUMPUR--Pelarangan aktivitas politik di universitas-universitas di Malaysia menjelang pemilu dikritik oleh sejumlah aktivis. Bukhari Sofian, kepala grup advokasi kebebasan akademisi, mengaku jengah dengan larangan tersebut.
Ia menyebutkan peraturan itu sangat ketinggalan zaman, apalagi diterapkan kepada generasi muda melek teknologi yang ingin mengekspresikan suaranya.
Pria berusia 23 tahun itu pun berencana mendukung oposisi pada pemilu parlemen 5 Mei mendatang.
"Hari ini para pemuda bisa menemukan hampir semuanya di dalam ponsel mereka. Mereka telah membuka mata dan melihat bahwa bisa mengubah Malaysia menjadi lebih baik," ujar mahasiswa jurusan ilmu politik tersebut.
Suara-suara pemilih seperti Bukhari, dinilai media, salah satunya Straits Times, berpotensi memberi kemenangan kecil kepada oposisi. Kubu oposisi saat ini berjuang meraih simpati kaum muda yang muncul ke permukaan dan memberi pandangan alternatif politik, situasi yang tak pernah ada sebelumnya.
Kehadiran mereka berpeluang besar menjadi penentu dalam pemilu.