REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- Polusi udara yang kian parah terjadi di Cina menarik perhatian internasional. Polusi udara di Beijing, ibu kota Cina, telah mencapai puncak dan membuatnya dijuluki "air-pocalypse" yang berbahaya.
Bulan lalu, polusi air di Shanghai menyebabkan ribuan babi mati dan ditemukan mengambang di sungai utama kota.
Nahasnya, sungai itu mencakup 20 persen dari sumber air bersih 23 juta penduduk kota setempat. Sampel tanah di Cina juga sudah terbukti mengandung kadar logam berbahaya sangat tinggi. Pabrik batu bara dan pembangkit listrik memompa awan tebal keluar dari cerobong asap dan menimbulkan jelaga.
Cina masih menjadi emiter gas rumah kaca terbesar di dunia.
Komisi Iklim Australia misalnya, melihat Cina dan Amerika Serikat menjadi emiter terbesar di dunia per posisi bulan lalu.
"Rata-rata keduanya menyumbang 37 persen emisi karbon di dunia," kata editor kolom 'Environment' media the Guardian di Inggris, Jennifer Duggan, Selasa (7/5).
Sayangnya, pertemuan negara-negara anggota PBB di Bonn, Jerman beberapa waktu lalu menemui jalan buntu. Masih belum ada kesepakatan global untuk mengurangi emisi gas rumah kaca yang seharusnya berkurang drastis pada 2015 nanti. Bahkan, pekan ini, konsentrasi CO2 di atmosfir mencapai puncaknya, 400 bagian per juta (PPM) untuk pertama kalinya sejak perang dunia kedua.
Ini menjadi penyebab keprihatinan di antara para ilmuwan dan bukti kurangnya kepedulian global yang signifikan pada perubahan iklim.